Pada awalnya prasangka adalah anggapan seseorang mengenai sesuatu (obyek) sebelum dia sendiri mengetahui, menyaksikan, atau menyelidiknya secara akurat. Ia merupakan fenomena persepsi seseorang yang menerima informasi tentang suatu obyek lalu mempersepsinya secara langsung, tanpa memerosesnya terlebih dahulu secara rinci dalam alam pikiran. Pada kenyataannya persepsi manusia tentang sesuatu ditentukan oleh seberapa banyak informasi mengenai sesuatu itu. Dalam bahasa Arab prasangka disebut zhan. Rasulullah Saw bersabda, “Jauhilah prasngka, sungguh prasangka itu adalah pembicaraan paling dusta. Janganlah kalian saling selidik dan janga pula saling memata-matai.” (Bukhari-Muslim)
Ketika persepsi seseorang tentang suatu obyek tidak didukung oleh sejumlah informasi yang lengkap dan akurat, peluang terjadinya bias sangatlah tinggi. Semakin bias informasi, prasangka akan semakin liar dan menjadi-jadi. Di sinilah kemungkinan membiaknya prasangka hingga mengkristal menjadi prasangka buruk.
Meski demikian, ada kalanya prasangka itu berguna untuk mengambil satu keputusan. Misalnya, dengan prasangka, kita tidak terlalu lama menghabiskan waktu dan energi untuk sesuatu yang dampaknya telah diketahui. Dengan prasangka yang didasari oleh pengetahuan tentang dampaknya itu kita dapat mengambil satu keputusan secara cepat.
Kenyataannya, kehidupan manusia selalu dikepung prasangka, apakah prasangka yang berkonotasi positif (husnuzhan) atau prasangka yang berkonotasi negatif (su`uzhan). Prasangka juga melandaa semua sektor kehidupan. Dari yang paling elementer sampai ke tingkat yang lebih serius, yaitu urusan politik.
Dalam kajian psikologi disebutkan, banyak hal yang menjadi faktor atau sumber prasangka yang melanda seseorang. Antara lain etnik, gender, seks, dan agama. Oleh sebab itu kita kenal istilah prasangka etnik, prasangka gender, prasangka seks, dan prasangka agama.
Meski demikian, dalam kajian psikologi prasangka diartikan semakin menyempit dan khas, seakan prasangka dimaknai sebagai anggapan tentang suatu obyek yang berkonotasi negatif. Akibatnya, segala yang bernilai prasangka dipandang tidak bisa dipertangungjawabkan, yang karenanya harus dijauhi.
Atas dasar itu, dalam menentukan suatu kebijakan, lebih-lebih kebijakan publik, selayaknya tidak didasarkan hanya kepada perasanga, sebab akan berimplikasi sangat luas. Bukan saja kepada orang atau bangsa yang menjadi obyek prasangka tetapi juga kepada orang atau bangsa yang berprasangka. Tidak jarang peperangan yang terjadi, yang mengorbankan ribuan manusia tak berdosa dan menghabiskan dana milyaran dollar, dipicu oleh prasangka.
Ambil saja contoh penyerbuan Amerika Serikat ke Irak yang telah menjadikan dunia mencibirnya. Amerika Serikat, laksana orang kesetanan, membombardir Irak dan melumatkan apa saja yang ada di negeri itu. Mayat-mayat pun bergelimpangan di mana-mana, ladang-ladang minyak hangus terbakar, dan, ini yang paling mengerikan, peradaban dunia menggelepar sekarat dibuatnya. Ternyata yang menjadi dasar penyerbuan itu adalah prasangka, yang sampai Irak luluh lantak pun tidak pernah dapat dibuktikannya.
Celakanya, dan ini yang paling mengerikan dan biadab, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya justeru menjadikan prasangka sebagai metode penghancuran setaiap kekuatan yang dipersepsi, atas dasar prasangka, sebagai ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan berbagai cara dan didukung oleh piranti propaganda yang canggig dan kekuatan memaksanya, AS telah berhasil meyakinkan dunia tentang prasangkanya. Hal itu sama persis seperti Iblis meyakinkan prasangkanya kepada manusia untuk dijadikan sebagai balatentaranya dalam menyesatkan sesama manusia. Bedanya, Amerika untuk meyakinkan prasangkanya didukung oleh kekuatan memaksa sedangkan Iblis hanya didukung oleh kekuatan menggoda. ”Dan Sesungguhnya Iblis Telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebahagian orang-orang yang beriman.” (QS, al-Saba [34]: 20). Akibatnya, nafsu invasinya semakin meluap-luap dan semangat agresinya semakin berkobar-kobar.
Lihat saja, bagaimana sikap dan prilaku tentara-tentara AS di Irak. Dengan ekspresi wajah yang penuh kebencian, mereka menyerbu Irak, membunuhi warganya, dan menghancurkan semua infrastruktur yang dimilikinya. Setiap mereka memenangkan satu pertempuran di satu wilayah, rakyat Irak yang sedang kelaparan justru disuruh melakukan penjarahan dan pembunuhan sesama. Mereka, para serdadu Amerika dan Inggris yang haus darah dan buas itu, sambil tersenyum dan tertawa-tawa memandanginya dengan rasa puas yang tidak ada bandingannya.
Jadi, sungguh amat berhaya implikasi sebuah kebijakan yang diputuskan hanya atas dasar prasangka. Ada kecenderungan kuat, bangsa yang dalam menentukan kebijakan sehubungan dengan eksistensi bangsa lain hanya didasaran penguasa, akan menyeret dan memobilisasi bangsa-bangsa lain agar berprasangka seperti dirinya. Itulah yang dilakukan AS selama ini terhadap bangsa-bangsa lain yang dipersepsi sebagai ancaman terhadap negaranya. Dalam konteks inilah barangkali mengapa Allah Swt dalam al-Qur`an menyuruh kita menjauhi banyak prasangka. “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS, al-Hujurat [49]: 12).
Dalam Ibnu Katsir dikatakan, menjauhi banyak persangkan dimaksudkan agar kita selalu waspada supaya tidak terjerembab ke dalam satu sikap, kebijakan, dan tindaan yang membahayakan, bukan saja membahayakan kepada yang menjadi obyek prasangka tetapi juga kepada kita sendiri.
Pada umumnya prasangka yang berkonotasi negatif semakin diperparah dengan adanya penilaian yang negatif yang merendahkan terhadap obyek atau kelompok yang bukan bagian dari entitasnya. Ada kalanya penialian negatif ini sangat berlebihan sehingga menimbulkan keputusan yang keliru yang sangat membahayakan.
Di masyarakat multi etnik umumnya persangka menjadi subur. Apatah lagi jika ditambah dengan adanya kondisi ketidakpastian norma dalam masyarakat itu. Di tingkat politik tinggi, prasangka juga bisa subur apabila para politisi dan penentu kebijakannya tidak memiliki integritas moral. Antara seorang politisi dan politisi lainnya, atau antara satu entitas politik dengan entitas lainnya bisa saling berprasangka yang mengakibatkan suburnya kecurigaan di antara mereka.
Dalam jagat politik, persangka, lebih jauh dikenal dengan istilah prasangka politik, bisa menjadi dasar kebijakan politik. Suatu kebijakan politik yang didasarkan kepada prasangka, seperti yang dipraktikkan AS dalam kasus penyerbuannya ke Irak dan negara-negara lainnya sebagaimana tersebut di atas, tingkat bahayanya sangat mengerikan.
Sehubungan dengan itu Rasulullah Saw menyuruh ummatnya agar menjauhi prasangka. Hal itu diingatkan karena implikasinya sangat berbahaya. Antara lain, dapat membentuk situasi psikologis yang penuh curiga sehingga mendorong untuk saling memata-matai, mengobarkan kebencian, dan lebiah jauh membentuk psikologi politik yang membahayakan orang atau bangsa lain yang menjadi obyek prasangka. Rasulullah Saw bersabda, ”Jauhilah berprasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta. Janganlah kamu meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing secara tidak sehat, saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR, Malik)
Kamis, 09 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar