Prilaku keluarga, komunitas, atau masyarakat manusia umumnya tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan otentiknya yang kompleks. Dalam hukum sosial, kebudayaan tidak sekedar produk masyarakat tetapi juga memberi makna dan sekaligus membentuk corak kehidupan khasnya.
Sebagai hasil daya cipta bebas dan keserba-gandaan manusia, kebudayaan meliputi hal-hal yang bersifat ma’nawi (immaterial) dan maddi (material), benda nyata dan tidak nyata, malmusah dan ghair malmusah (teraba dan tidak teraba). Manifestasi cara berpikir dan pandangan hidup suatu bangsa juga salah satu wujud kebudayaan.
Kebudayaan juga dapat membentuk ikatan batin terutama dalam kaitan penghayatan terhadap nilai-nilai yang diyakini oleh sebuah keluarga atau masyarakat. Oleh karena wujud hasil sebuah kebudayaan antara lain hal-hal yang bersifat esensial seperti ilmu pengetahuan, tradisi, cita-cita, atau symbol-simbol yang mencerminkan penghayatan terhadap nilai-nilai, maka ikatan batin keluarga atau masyarakat dalam satu kebudayaan akan sangat kuat.
Selanjutnya ikatan dan penghayatan nilai-nilai itu dapat mewujudkan nilai kelompok yang mengikat dan menjadi ukuran tingkah laki dan keidealan individu dalam masyarakatnya. Nilai-nilai kelompok ini, melalui pendidikan, kemudian diwariskan secara terus-menerus hingga membentuk identitas budaya yang selain dijunjung tinggi juga tidak mudah dihilangkan.
Secara esensial, kebudayaan sering dinyatakan sebagai produk akal budi manusia yang terdiri atas berbagai pola hidup dan bertingkah laku, pikiran, perasaan, dan reaksi yang diperoleh dari interaksi dengan nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup. Selanjutnya produk itu dikontribusikan kepada pembangunan dan pembinaan jiwa melalui pemikiran atau akal budi individu secara turun-temurun.
Oleh sebab kebudayaan adalah hasil kreatifitas manusia, maka di dalamnya melekat keragaman seperti halnya kebepelbagaian manusia sebagai kreatornya. Keragaman kreatifitas ini merupakan konsekuensi logis dari kepelbagaian manusia dan masyarakatnya yang diejawantahkan dalam keragaman jenis kelamin, bahasa, ras, etnis, bangsa, dan kelompok-kelompok alamiah lainnya.
Dengan demikian, seringkali kita merasa tidak mudah dapat menyesuaikan diri dengan kondisi kebudayaan yang berbeda. Apa lagi yang membentuk perbedaan itu adalah perbedaan ideologi atau agama yang menjadi akar suatu kebudayaan. Sebab salah satu watak suatu kebudayaan ialah membentuk karakter dan identitas individu, masyarakat, atau bangsa yang berakar kuat hingga tidak mudah mengalami transformasi.
Bukan hanya perbedaan kebudayaan yang membikin seseorang tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang secara budaya berbeda melainkian juga perbedaan tingkat budaya dalam satu kebudayaan. Pada umumnya yang membuat perbedaan tingkat budaya adalah perbedaan dalam tingkat pendidikan.
Faktanya pendidikan itu inheren dengan kebudayaan dan sebaliknya kebudayaan juga inheren dengan pendidikan. Pendidikan sebagai proses humanisasi eksistensinya tidak dapat lepas dari kebudayaan. Sebaliknya eksistensi sebuah kebudayaan juga tidak dapat lepas diri dari pendidikan. Dengan demikian, tingkat budaya seseorang ditentukan oleh pendidikan yang diperolehnya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka dapat diharapkan semakin tinggi pula tingkat budayanya.
Oleh sebab itu memperhatikan aspek kebudayaan dalam memahami suatu realitas menjadi sangat kontekstual. Apatah lagi kenyataan bahwa perbedaan budaya bisa melahirkan perbedaan tafsir atas simbol-simbol budaya. Oleh karena itu Rasulullah Saw memberikan formula komunikasi yang komunkatif dengan memperhatiakn tingkat budaya. ”Berkomunikasilah dengan manusia sesuai dengan bahasa kaumnya (tingkat budayanya. pen.)”. Faktanya sering terjadi salah paham antarindividu atau antarmasyarakat disebabkan oleh perbedaan tafsir tersebut.
Dengan demikian, memperhatikan kebudayaan hingga dapat menangkap esensi yang terkandung di dalamnya menjadi sangat penting agar setiap pasangan suami istri dapat memahaminya dengan baik. Melalui pemahaman itu diharapkan akan memunculkan kelapangdadaan pada masing-masing pasangan dan suasana komunikasi yang penuh saling pengertian.
Atas dasar itu, hendaknya kita dapat menangkap secara lebih substansial terhadap makna pernyataan Nabi Muhammad Saw yang menyebutkan bahwa ”keturunan” adalah salah satu aspek pertimbangan pernikahan. Tidak hanya semata-mata dalam arti keturunan secara biologis melainkan juga tidak mengabaikan aspek kebudayaan yang membentuknya. Tegasnya, dengan memperhatikan aspek ’keturunan’ berarti juga harus memperhatikan aspek kebudayaan yang membentuk pola hidup keturunan tersebut dan tingkat budaya yang dibentuk oleh pendidikan. Sebab kebudayaan tidak diwariskan secara generatif atau biologis dikarenakan kebudayaan hanya dapat dimiliki atau dihasilkan melalui proses belajar (pendidikan). Dalam bahasa fikih kufu` secara budaya.
Kenyataan yang tak dapat dipungkiri, keharmonisan keluarga sebagai salah satu tujuan pernikahan, tidak mudah diwujudkan dalam suasana perbedaan budaya (tidak kufu`) yang sangat lebar dikarenakan di dalamnya terdapat konfigurasi tingkah laku dan hasil laku yang telah melembaga sebagai salah satu bentuk kebudayaan.. Artinya, harus ada kesediaan setiap pasangan untuk saling mendekatkan perbedaan (ketidakkufuan) latar belakang budaya demi mewujudkan kaharmonisan yang diharapkan bersama. Tentu saja, untuk mencapai tujuan itu dibutuhkan proses dan waktu.
Berbeda tentunya kalau pernikahan itu dibangun di atas naskah budaya yang sama (sekufu`). Proses adaptasi budaya, akulturasi, atau apa pun namanya, mungkin tidak diperlukan sangat. Oleh karena itu, jika sejak tahap pemilihan calon sudah mempertimbangkan aspek dan tingkat budaya, tentu akan lebih mudah mewujudkan hubungan harmonis dalam keluarga. Insya Allah. []
Kamis, 16 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar