Dengan demikian setiap pasangan tak pelak lagi akan menghadapi sejumlah realitas hidup yang sarat perbedaan, baik yang bersumber dari hal-hal yang intrinsik (alamiah) sifatnya, atau pun yang bersifat budaya. Perbedaan-perbedaan itu tak perlu ditakutkan. Sebab ketakutan akan perbedaan bisa menjadi sumber kegagapan dan kegugupan dalam memerankan dirinya di panggung kehidupan. Sejatinya perbedaan-perbedaan itu hanya mungkin diharmonisasikan dalam satu panggung drama.
Yang sangat menarik, walaupun tidak ada sutradara dalam drama ini, namun mereka bermain sesuai dengan peran masing-masing tanpa ada satu pun yang menyempal dari alur ceritera dalam naskah. Hal itu seolah menggambarkan masing-masing pelaku drama memiliki komitmen yang sama pada satu naskah skenario.
Atas dasar itulah setiap pasangan dituntut memiliki kesadaran bahwa mereka, pada hakikatnya, sedang menjalankan peran (performa) sesuai dengan naskah skenarionya. Keberhasilan dalam memerankan tokoh masing-masing dalam panggung, dengan tetap menghormati peran yang lain, menjadi ukuran kesuksesan sebuah pertunjukan drama tanpa babak yang bernama pasangan suami istri.
Di sisi lain, kesuksesan sebuah pertunjukan drama juga ditentukan oleh respon penonton terhadap pertunjukkan tersebut. Walaupun keterlibatan penonton tidak terdapat dalam scenario, namun beragam corak, watak, dan kecenderungan penonton yang melatarbelakangi respon mereka terhadap pertunjukkan drama tersebut akan ikut menentukan kualitas kesuksesan. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, penonton tak ubahnya seperti kehidupan sosial yang melingkungi kehidupan pasangan suami istri.
Membangun keharmonisan dalam kehidupan pasangan suami istri, tak dapat dipisahkan dari pengaruh-pengaruh factor sosialnya. Suatu realitas yang unik bahwa penonton dapat berlaku layaknya seorang pemain, dan perannya tak dapat dinafikan dalam membangun keharmonisan permainan. Suatu hal yang sia-sia berusaha mengisolasi pasangan suami istri agar steril dari pengaruh dan hiruk pikuk mereka.
Oleh sebab itu, sebagai makhluk sosial, kita tak mungkin dapat menghindar dari masalah yang berkaitan dengan lingkungan sosial kita yang memiliki keragaman itu. Apatah lagi ketika kenyataan realitas sosial yang kita hadapi tidak sesuai dengan harapan yang kita inginkan. Akibatnya tidak mustahil terjadi konflik-konflik (walau secara teori, tidak semua konflik itu berdampak negatif). Konflik-konflik itu, baik yang bersifat intrapersonal, interpersonal maupun konflik sosial merupakan bagian dari masalah yang pasti kita hadapi.
Pada kenyataannya, pemahaman terhadap orang lain dan kesanggupan menerima pribadinya sebagaimana apa adanya saja, tidak cukup meredam konflik-konflik interpersonal atau sosial yang mungkin timbul. Terkadang kita merasa sudah sangat dekat/mengenal seseorang, dapat memahaminya, dan sanggup menerima kelebihan-kelebihan atau kekurangan-kekurangannya. Namun tetap saja ketika ada sedikit hal yang tidak sesuai dengan perasaan atau pemikiran kita, kita merasa konflik-konflik tersebut menemui jalan buntu dan tak akan menemukan solusinya. Sayang sekali, kedekatan hati dan kesiapan berbagi tidak selalu membuahkan harmoni, karena hidup selalu memunculkan banyak sisi untuk dimengerti, dinikmati, dan dijalani sepenuh hati.
Untuk itu kiranya perlu setiap pasangan mampu menikmati keanekaragaman ketika melihat wajah-wajah orang lain yang berbeda ekspresi, apakah dalam pasangan atau di luar pasangan. Selanjutnya menangkap aneka ceritera yang menarik dari setiap pancaran wajah mereka. Dengan cara demikian, diharapkan performa pasangan di atas panggung derama tanpa babak akan lebih kuat dan atraktif sehingga penontion pun puas dan respek. (Insya Allah masih ada sambungannya).
Rabu, 15 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar