Secara fitrah manusia itu berpasangan. Ada laki-laki dan ada perempuan. Oleh sebab itu setiap orang pada hakikatnya selalu terpanggil untuk hidup berpasang-pasangan. Sebab dalam hidup berpasang-pasangan itulah sang diri dapat menangkap dan menemukan makna hidupnya yang hakiki. Yaitu merealisasikan “amanah” yang telah disanggupinya, yang meliputi “amanah ibadah” dan “amanah risalah”, melakukan pengabdian yang tulus hanya kepada Allah Swt dan memakmurkan bumi (membangun peradaban) dengan tata aturan-Nya.
Oleh sebab berpasangan merupakan fitrah yang melekat pada penciptaannya, maka setiap manusia selalu merindukan kehadiran peristiwa yang sangat penting bagi perjalanan hidupnya. Dalam al-Qur`an mersemikan pasangan melalui pernikahan dilukiskan sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kuat).
Pemenuhan kehadiran berpasangan tersebut jelas berimplikasi melahirkan ketenteraman dan kenyamanan hidup. Melalui hidup berpasangan ini pula kualitas eksistensinya dapat terus meningkat Atas dasar itu. tanpa berpasangan sangat berpotensi besar seseorang disergap kehampaan eksistensial.
Dengan demikian, secara filosofis, pernikahan merupakan jawaban atas kemungkinan manusia dikepung kehampaan eksistensialnya. Sebab dalam berpasangan itulah setiap individu dapat saling memberi dan menerima kasih sayang, cinta, dan pemuasan biologis secara eksklusif. Melalui pernikahan setiap individu dapat mengembangkan keturunan untuk membangun peradaban.
Dalam berpasangan setiap individu dapat berhubungan secara fisik dan psikhis. Mereka dapat
saling memberi perasaan yang sifatnya menetap, terutama tentang bagaimana memiliki seseorang dan menjadi milik orang lain, serta perasaan dibutuhkan oleh orang lain.
Dari interaksi seperti itu diharapkan pasangan dapat melahirkan satu keyakinan bahwa kedekatan dan kepercayaan dalam perkawinan dapat menghela hubungan yang lebih bermakna, intim, dan harmonis. Dalam kasus hubungan yang sangat eksklusif dan personal, yaitu hubungan seksual yang legal dan wajar secara norma sosial, dapat pula diwujudkan tanpa ada hambatan psikologis.
Melalui pernikahan pula harapan-harapan saling dapat memahami kebutuhan-kebutuhan eksistensial pasangan dapat direalisasikan. Selanjutnya pola hubungan yang tercipta akan semakin harmonis seiring dengan semakin dalamnya pengetahuan akan pasangannya. Hal itu jelas tidak dapat diwujudkan hanya melalui hubungan biologis dalam konteks pelampiasan birahi saja.
Untuk itu para ahli kemanusiaan menekankan bahwa pernikahan merupakan perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami isteri secara sah dan membentuk rumah tangga bahagia yang kekal. Secara hakikinya perjanjian itu tidak hanya melibatkan dua orang yang akan menjadi pasangan melainkan juga Tuhan dan masyarakat. Di sinilah pentingnya persetujuan dan kebulatan tekad calon pasangan untuk membina rumah tangga bahagia, menjalani hidup bersama yang rukun, harmonis, serta untuk memikul tanggungjawab merealisasikan “amanah”. (Insya Allah ada sambungannya).
Oleh: Ust Abu Ridho
Minggu, 12 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar