MONARKI, DEMOKRASI, DAN KHILAFAH

Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi

Polemik seputar keistimewaan DIY belum berakhir. Pemerintah melalui RUUK tetap ngotot menginginkan pemilihan Gubernur DIY seperti propinsi-propinsi lainnya. Sementara pihak Kraton Yogya dan umumnya masyarakat Yogya berkeras pada opsi penetapan , bukan pemilihan. Polemik ini semakin panas ketika SBY menyatakan sistem monarki tidak mungkin diterapkan, karena akan bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values).

Beberapa catatan kritis menurut perspektif Islam perlu diberikan untuk fenomena ini. Pertama, seharusnya masing-masing pihak mempunyai satu rujukan yang sama untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang ada. Dalam Islam, setiap perselisihan wajib dikembalikan kepada rujukan wahyu, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah (QS An-Nisaa` : 59). 

Semestinya masing-masing pihak merujuk pada referensi ilahi itu. Namun nampaknya hal ini tidak terjadi. Kedua pihak justru mengembalikan persoalan ini bukan pada referensi Al-Qur`an dan As-Sunnah, melainkan pada referensi-referensi lain yang ilegal menurut kacamata hukum Islam. Partai Demokrat melalui Ruhut Sitompul mengatakan dasar sikap mereka adalah survei LSI yang menemukan 71 % masyarakat Yogya setuju pemilihan Gubernur DIY(pemilu kada). Sedang pihak yang pro penetapan, di antaranya Golkar, juga menyandarkan pada survei yang konon hasilnya 70 % masyarakat Yogya pro penetapan, bukan pemilihan. Masyarakat Yogya juga menyandarkan pada referensi sejarah. Khususnya ketika Kraton Yogyakarta menggabungkan diri dengan NKRI, yang imbal baliknya Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.

Sesungguhnya, survei dan sejarah bukanlah rujukan normatif yang benar menurut Islam. Rujukan ini memang seakan-akan bernilai benar dengan sendirinya karena memang cara berpikir kita telah didominasi dan dikooptasi oleh perspektif Positivisme dalam filsafat hukum. Perspektif ini benar-benar telah merusak cara berpikir kita, karena ia mengajarkan bahwa hukum atau pranata hidup itu tidak perlu didasarkan pada agama (Al-Qur`an dan As-Sunnah), melainkan cukup pada fakta-fakta empiris dalam masyarakat. Esensi aliran Positivisme dalam filsafat hukum seperti kata H.L.A Hart adalah that laws are commands of human being (hukum adalah perintah dari manusia). (Prasetyo dan Barakatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, hal. 97). 

Jadi hukum menurut prespektif ini adalah man made (buatan manusia). Dengan kata lain, hukum bukan berasal dari norma agama. Maka mengembalikan polemik keistimewaan DIY ini kepada argumen sejarah, atau argumen survei, atau argumen apa pun selain Al-Qur`an dan As-Sunnah, jelas merupakan kekeliruan metodologis yang parah.

Kedua,catatan berikutnya adalah mengenai pemilihan Gubernur. Dalam Islam, Gubernur (Wali) bukanlah hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh Kepala Negara (Khalifah). Dalam kitab-kitab hadits dan juga sirah dapat dibuktikan bahwa gubernur-gubernur dalam propinsi-propinsi pemerintahan Islam dulu, selalu diangkat oleh Rasulullah SAW sebagai kepala negara. Misalnya Muadz bin Jabal yang diangkat sebagai gubernur propinsi Yaman. Juga Ziyad bin Labid yang diangkat Rasulullah SAW sebagai gubernur propinsi Hadhramaut, serta Abu Musa Al-Asyari sebagai gubernur propinsi Zabid dan Aden. (Atha` bin Khalil, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hal. 73). 

Walhasil, jika diukur dengan timbangan Syariah Islam, pengangkatan gubernur itu hanyalah melalui pengangkatan oleh khalifah (kepala negara). Bukan lewat cara pemilihan (pemilu kada) oleh rakyat di propinsi yang bersangkutan, bukan pula melalui cara penetapan secara otomatis sebagai jabatan yang diwariskan secara turun temurun.

Ketiga,catatan ketiga adalah tentang pernyataan SBY bahwa sistem monarki bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi (democratic values). Ini pernyataan dangkal dan menunjukkan SBY kurang membaca literatur sejarah dan ilmu politik. Karena secara faktual tak selalu sistem monarki tak bisa dikawinkan dengan demokrasi. Bahkan untuk konteks propinsi DIY, pernyataan SBY memang boleh dikatakan ngawur. Mengapa demikian? Sebab sejak bergabung dengan NKRI, berakhir sudah sistem monarki Kerajaan (Kesultanan?) Yogyakarta Hadiningrat. Setelah itu, yang ada di DIY bukan sistem monarki melainkan propinsi yang mempunyai keistimewaan, yaitu Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Jadi yang ada ialah propinsi dengan sisa-sisa sistem monarki, khususnya dalam pengangkatan eksekutif, bukan sistem monarkinya itu sendiri. Karena sistem monarki adalah sebuah istilah teknis untuk bentuk negara, bukan bentuk propinsi. (Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta : Bumi Aksara, 1990, hal. 57-58; M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Medan : Mandar Maju, hal. 54-55).

Namun harus dikatakan, bahwa pengangkatan Khalifah (Imam) sebagai kepala negara dalam Islam bukanlah melalui sistem pewarisan, melainkan harus merupakan hasil pilihan umat. Itulah yang terjadi pada empat khalifah pertama dalam Islam, yang semuanya berkuasa setelah dipilih oleh umat. 

Memang dalam sejarah Islam kekhilafahan didominasi oleh suatu dinasti (bani) tertentu untuk kurun waktu tertentu. Dikenallah kemudian Khilafah Bani Umayah, Khilafah Bani Abbasiyah, dan Khilafah Bani Utsmaniyah (yang berakhir 1924). Namun kejadian sejarah ini tidaklah mewakili ajaran Islam yang murni. Fakta sejarah ini justru menunjukkan terjadinya distorsi atau bias dalam implementasi Syariah Islam di bidang kekuasaan. 

Namun penyimpangan ini tidak sampai menghapuskan secara total karakter bentuk pemerintahan Khilafah. Karena bagaimanapun juga khalifah-khalifah itu tetap dibaiat, bukan semata-mata mendapat kekuasaan secara turun temurun. Maka bentuk negaranya tetap sah sebagai Khilafah, hanya saja memang terpengaruh oleh salah satu unsur sistem monarki, yaitu pewarisan kekuasaan. Karena itu, Syaikh Hisyam Al-Badrani, seorang ulama Irak kontemporer, menyebut sistem pemerintahan pasca Khulafaur Rasyidin sebagai Al-Khilafah ala Minhaj Al-Mulk (Khilafah, tapi mengikuti metode monarki dalam pengangkatan penguasanya). (Hisyam Al-Badrani, an-Nizham al-Siyasi Bada Hadmi Al-Khilafah, hal. 12.)

Karenanya memang tidak bisa dipersalahkan sepenuhnya, ketika Mataram Islam sejak Sultan Agung (w. 1646) juga mencontoh model suksesi kepemimpinan secara turun temurun. Wong yang menjadi contoh saat itu (Khilafah Utsmaniyah) memang sudah keliru dalam praktik pengangkatan Khalifah. Sejarah mencatat, pada sekitar tahun 1640 Sultan Agung telah menjalin hubungan internasional dengan Khilafah Utsmaniyah melalui Syarif Makkah (gubernur untuk wilayah Makkah dan sekitarnya). Hasilnya adalah gelar Sultan yang kemudian secara resmi disematkan di depan namanya. (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 1500-2004, Jakarta : Serambi, 2005, hal. 111; Musyrifa Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 147). 

Kami katakan tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya, karena sistem pewarisan tahta turun temurun yang diadopsi oleh Mataram saat itu, telah mengambil model yang salah dan terdistorsi dari Khilafah Utsmaniyah. Atau bisa jadi pewarisan tahta itu sekedar meneruskan apa yang dianggap lumrah sejak era sebelumnya, misalnya sejak jaman Kesultanan Demak dan Pajang yang menjadi cikal-bakal Mataram. Jadi pengambilan cara pewarisan tahta ini barangkali terjadi di luar kesengajaan, karena saat itu memang tak ada model ideal yang betul-betul mencerminkan ajaran Islam yang murni.

Namun tegas kami nyatakan, kesalahan semacam itu tak boleh lagi diterus-teruskan. Yang sudah ya sudah. Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan kita. Namun untuk ke depan, sesuai ajaran Islam, pemimpin haruslah hasil pilihan rakyat, bukan terangkat secara otomatis secara turun temurun.

Keempat, catatan terakhir, kami ingin menegaskan demokrasi tidak selalu identik dengan pemilihan pemimpin oleh rakyat. Maka dari itu, ketika kami menyatakan bahwa bahwa pemimpin haruslah dipilih oleh rakyat, bukan berarti kami setuju dengan demokrasi.

Mengapa demikian? Sebab esensi demokrasi sebenarnya bukan pada prinsip pemimpin adalah pilihan rakyat, melainkan pada prinsip bahwa peraturan itu adalah buatan manusia (kedaulatan rakyat). Dalam pandangan Islam, haram hukumnya manusia membuat sendiri hukum atau aturan hidup. Hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum (QS Al-Anaam : 57). 

Jadi, Islam tidak menyalahkan demokrasi jika yang dimaksud adalah pemimpin merupakan hasil pilihan rakyat. Namun Islam juga tidak membenarkan prinsip itu sepenuhnya. Sebab meski pemimpin dipilih oleh rakyat, dalam demokrasi pemimpin pilihan rakyat itu akan menjalankan hukum buatan manusia. Sedang dalam Islam, pemimpin pilihan rakyat itu hanya menjalankan hukum Syariat Islam, bukan hukum buatan manusia. 

Maka dari itu, jelas sekali SBY nampak dangkal ketika mempertentangkan monarki dengan demokrasi dalam konteks pemilihan gubernur DIY. Pendirian SBY itu mengisyaratkan bahwa esensi demokrasi dalam pikirannya hanyalah pemilihan, yakni pemimpin hendaknya hasil pilihan rakyat. Padahal, kalaupun itu dikatakan bagian demokrasi, sifatnya hanya prinsip sekunder saja dan bukan ide khas demokrasi. Prinsip primer dan ide khas dalam demokrasi justru adalah memberikan otoritas kepada manusia (bukan kepada Tuhan) hak membuat hukum. Inilah prinsip primer demokrasi yang justru terabaikan oleh SBY. 

Kesimpulannya, memang sulit bagi muslim untuk menyikapi polemik keistimewaan DIY sekarang ini. Penetapan atau pemilihan, bukanlah pilihan-pilihan yang benar. Namun yang jelas, Islam mengatakan tidak untuk pemilihan (pemilu kada), karena gubernur dalam pandangan Islam bukan hasil pilihan rakyat, melainkan diangkat oleh kepala negara (khalifah). Islam juga mengatakan tidak untuk penetapan, karena Islam tidak mengenal proses pewarisan kekuasaan yang turun temurun. Islam juga mengatakan tidak untuk demokrasi, karena demokrasi memaksakan sebuah prinsip yang fatal sekali kekeliruannya menurut Islam, yaitu manusia diberi hak membuat hukum.

Yang benar, seorang gubernur (wali) dalam Islam itu diangkat oleh Khalifah (kepala negara), bukan dipilih oleh rakyat. Dan proses ini tentu harus dijalankan dalam bentuk negara yang benar sesuai ajaran Islam, yaitu sistem Khilafah, bukan sistem republik (demokrasi) seperti yang ada sekarang. Wallahu alam

* Makalah disampaikan dalam Dirasah Islamiyah, diselenggarakan oleh HTI Chapter Kampus Hamfara bekerja sama dengan Ma'had Hamfara Yogyakarta, di Masjid Hamfara, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Jumat 10 Desember 2010.

**Mudir Ma'had (Pimpinan Pesantren) Hamfara,Yogyakarta. DPP HTI.

0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.