Salah satu karakteristik yang memastikan manusia sebagai makhluk moral adalah kehendak atau pilihan bebasnya dalam menentukan sesuatu. Bagi manusia, kehendak atau pilihan bebasnya itu bersifat intrinsik, karunia Allah Swt yang melekat pada penciptaannya. Sehubungan dengan kehendak atau pilihan bebasnya itu, dua kemungkinan yang dapat dilakukan manusia di sepanjang hidupnya: diam atau melakukan sesuatu. Berharga atau tidaknya kedua kemungkinan tersebut tergantung kepada tujuan dan motivasi yang melandasi kehendak dan pilihan bebasnyanya.
Kata diam biasanya digunakan untuk menunjuk suatu keadaan yang dikaitkan dengan pembicaraan dan perbuaatan seseorang. Kendati demikian, orang yang sedang diam tidak berarti seluruh organnya sama sekali diam, tidak ada gerakan. Hal itu tak mungkin terjadi selama dia hidup dikarenakan gerak adalah tanda kehidupan itu sendiri. Seseorang disebut sedang diam ketika ia dengan kehendak bebasnya sedang tidak bicara apa-apa atau tidak melakukan apa-apa.
Seringkali diam dihubungkan dengan pasivitas yang menyebabkan tidak sedikit orang yang memandangnya sebagai tidak produktif. Akibatnya banyak orang yang berusaha keras menghindarinya agar dikatakan sebagai manusia aktif. Padahal aktivitas itu, dalam banyak hal, tidak ada hubungan langsung dengan produktivitas. Yang jelas, aktivitas itu memberi kesibukan sedangkan produktivitas memberi hasil, aktivitas menghabiskan waktu sedangkan produktivitas membebaskannya.
Di sisi lain, suatu pembicaraan atau perbuatan akan punyai nilai bila dilakukan dengan sengaja atas dasar pilihan bebasnya. Demikian pula halnya jika seseorang memilih diam. Maka nilai diamnya ditentukan oleh faktor pilihan bebasnya. Oleh sebab itu jika seseorang dengan kehendak bebasnya memilih diam, tidak berbicara dan tidak melakukan sesuatu, maka tidak berarti dia tidak punya nilai. Bahkan justru mungkin sangat bernilai apabila diamnya itu untuk sebuah nilai, diperlukan, strategis, dan tepat momentumnya. “Diam itu emas”. Begtiu pepatah mengatakan.
Problem yang dihadapi manusia, dan mungkin ini salah satu kelemahannya, untuk memilih diam justru tidak mudah baginya. Meskipun diam itu demikian bernialinya dan tidak perlu mengerahkan seluruh potensi fisiknya, namun tetap saja manusia tidak mudah melakukannya. Padahal secara kasat mata apa sih beratnya bagi seseorang untuk sekedar diam tidak berbicara dan tidak melakukan sesuatu dengan sengaja? Akibatnya, diam menjadi asing di lingkungan diri kita.
Ternyata, diam bukan pasivitas, bahkan dalam dia justru pikiran dan jiwa manusia sangat aktif. Bahkan diam dapat membantu pikiran dan jiwa manusia berkonsentrasi, introspektif, dan bahkan bijak. Orang yang tidak suka berpikir umumnya mengalami kesulitan untuk dapat diam dikarena dalam diamlah pikiran dan jiwa manusia berkerja keras. Sesungguhnya diam. bisa menjadi energi terbaik manusia. Dalam konteks komunikasi bahkan diam sering dapat menyampaikan makna jauh lebih efektif daripada argument yang paling persuasif sekalipun.
Nilai diam sebagai kehendak dan pilihan bebas manusia ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR, Muttafaq Alaih). Pada kenyataannya, diam dapat memberikan kekuatan hidup. Diam dapat menjadi alat utama untuk menikmati komunikasi yang lebih efektif, meningkatkan pembelajaran dan pertumbuhan pribadi yang bermakna. Oleh sebab itu, para salik (penempuh jalan spiritual) selalu menekankan latihan agar biasa diam melalui serangkaian ritual seperti berkhalwat. Seorang ahli hikmah mengatakan, “Jika Anda berbicara dalam satu majelis yang pembicaraannya menjurus ke ujub, maka Anda harus diam. Akan tetapi jika diam Anda justru melahirkan ujub, maka berbicaralah.”
Ketika diam telah menjadi asing, maka yang ada adalah mengatakan semua yang ingin dikatakan dan melakukan segala sesuatu yang ingin dilakukan. Tidak perduli, apakah perkataan dan perbuatan itu pantas diungkapkan atau tidak? Apakah perkataan dan perbuatan itu baik untuk diungkapkan atau dilakukan atau tidak? Apakah perkataan dan perbuatan itu merusak untuk diri dan lingkungannya atau tidak? Dengan begitu maka kehidupan akan menjadi bising dan semerawut yang menyebabkan nilai sesuatu akan tertimbun oleh kebisingan dan kesemerawutan. Wallahu A’lam.
Oleh: Ust Abu RIdho
Senin, 20 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar