Faktanya, setiap manusia tidak mungkin lepas dari dimensi ruang dan waktu. Ada tiga waktu yang melekat pada kehidupannya. Masa lalu, masa kini, dan masa depannya. Nah, ketika ia harus menatap masa depan dirinya, demi menghindari kegagalan atau meraih kesuksesan, maka pemanfaatan sebab-sebab atau perangkaian peristiwa-peristiwa dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga jumlahnya itu menjadi sangat penting. Hal itu setidak-tidaknya diisyaratkan Allah Swt dalam firman-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (ahirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS, al-Hasyr [69]: 18).
Dalam filsafat dinyatakan bahwa sifat penting kausalitas atau sebab dan akibat adalah keselarasan, kesemasaan, dan relasi eksistensial antara sebab dan akibat. Kendati prinsip kausalitas adalah hukum dasar alam yang di luar hasil “penghubung-hubungan” rasio manusia berdasarkan pengalaman inderawinya dikarenakan seluruh alam materi tidak bisa dibuktikan keberadaannya tanpa menerima prinsip kausalitas sebelumnya, namun dalam kerangka pencapaian cita-cita atau harapan setiap individu tetap dituntut kepekaan terhadapnya dan selanjutnya ia mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Allah Swt dalam firman-Nya telah mengisyaratkan semua itu. “Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya sebab (jalan untuk mencapai) segala sesuatu. Maka diapun mengikuti (menempuh) suatu sebab (jalan).” (QS, al-Kahfi [18]: 84-85). (Insya Allah ada sambungannya).
Misalnya, suatu pagi suami istri bertengkar keras di rumah dan disaksikan oleh anak-anak danbahkan tetangga-tetangganya. Tentu sja pertengkaran itu pasti ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Tak mungkin suatu pertengkaran terjadi tanpa sebab apapun. Suatu hal yang mesti diingat, peristiwa pertengkaran di pagi itu juga menjadi salah satu sebab timbulnya peristiwa-peristiwa lain yang akan terjadi. Misalnya terjadinya perceraian pada pasangan tersebut di kemudian hari dan kegagalan studi anak-anaknya. Perceraian dan kegagalan tersebut, kalau ditelusuri pemyenan-penyebabnya, tidak mustahil berhubungan dengan pertengkaran tersebut yang mengakibatkan retaknya komunikasi suami istri dan memukul jiwa anak-anaknya ingga mempengaruhi pertumbuhan emosinya. Di sisi lain, perceraian yang terjadi dan kegagalan situdi anak-anaknya akan menjadi salah satu sebab munculnya peristiwa-peristiwa lainnya dengan segala kemungkinannya.
Pada kenyataannya Allah Swt telah membekali potensi kepekaan ini pada setiap makhluk-Nya yang bernyawa. Misalnya kepekaan yang sangat luar biasa diberikan Sang Pencipta pada seekor kupu-kupu. Konon, kepekaan sayap seekor kupu-kupu dapat mendeteksi jauh sebelum badai tornado berlangsung. Dengan kepekaannya itu ia dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan dialaminya.
Bagi manusia potensi kepekaan bukan hanya yang bersifat naluriah seperti seekor kupu-kupu melainkan juga dipertajam dengan potensi akal dan kalbunya. Atas dasar itu setiap manusia pada hakikatnya memiliki kepekaan, meskipun secara naluriah tidak sepeka sayap kupu-kupu. Akan tetapi dikarenakan memiliki akal dan kalbu, setiap orang mestinya dapat peka terhadap peristiwa-peristiwa yang menjadi rangsangan atau stimulasi serta mampu merangkaikannya secara apik untuk kepentingan hidupnya. Sebab dari rangkaian-rangaian peristiwa itulah setiap orang dapat mengambil banyak pelajaran atau hikmah yang dapat berguna bagi masa kini dan masa depannya.
Tafakkur adalah langkah paling tepat untuk mengasah semua kepekaan sehingga memiliki ketajaman bashirah yang luas biasa. Hasan al-Bashri mengatakan tentang nilai tafaakkur dalam ungkapannya yang sangat terkena, ”Merenungkan ciptaan Allah satu jam lebih baik daripada ibadah sepanjang malam.” Di bagian lain beliau mengingatkan, ”Orang yang berbicara tidak bijak, ia bicara sia-sia. Orang yang diam bukan untuk merenungkan ciptaan Allah, ia lupa. Orang yang perenungannya tidak menjadi pelajaran, ia lalai.”
Di dalam rangkaian peristiwa-peristiwa itu pula berbagai kemungkinan dapat diinderai sebagaimana pernah dialami manusia lain. Sedangkan peristiwa-peristiwa yang mungkin dialami manusia lain itu pula merupakan fenomena yang dapat mempengaruhi segala peristiwa yang dialami oleh seseorang. Orang-orang besar dalam sejarah tampak menunjukkan kemampuan seperti itu sehingga mereka disebut visioner.
Dalam pengalaman kesejarahan manusia, meskipun semua kombinasi peristiwa-peristiwa yang terjadi itu bersifat acak tetapi tetap saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain. Dengan demikian, satu peristiwa yang terjadi bisa membuka atau menutup peluang terjadinya peristiwa yang lain, yang mungkin lebih besar dan lebih menggetarkan. Di sisi lain kemunginan yang dialami seseorang itu juga mempengaruhi atau setidak-tidaknya dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang dialami orang lain.
Atas dasar itulah seoah-olah kita berada dalam satu ruang tanpa batas dengan kombinasi kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga jumlahnya. Dengan kata lain secara praktis sesungguhnya kita hidup di tengah-tengah berbagai peristiwa yang saling berkaitan yang mengandung berbagai kemungkinan. Kemampuan seseorang dalam menangkap kemungkinan-kemungkinan itu, dengan kepekaan naluri, akal, dan kalbu (bashirah), sama artinya telah memiliki potensi untuk membangun kesuksesan hidup masa kini dan masa depannya
Sehubungan dengan semua itu selayaknya setiap orang, dengan kepekaan naluri, akal, dan kalbu (bashirah), mampu mengambil makna atau hikmah yang telah atau mungkin terjadi pada dirinya, baik yang tergolong kegagalan ataupun kesuksesan. Sebab pada hakikatnya, seperti yang telah ditegaskan di atas, setiap peristiwa yang dialami seseorang merupakan rangkaan panjang dari sejumlah peristiwa yang dialaminya atau dialami orang lain.
Setelah menentukana dan mengambil hikmah dari apa yang sedang dialami, selanjutnya setiap individu dituntut dapat membuat keputusan yang tepat berdasarkan kepekaan dan kemampuannya mengkorelasikan semua kombinasi peristiwa-peristiwa yang terjadi agar terhindar dari tragedi, yang digambarkan oleh Rasulullah Saw, ”kaki yang terperosok ke lubang yang sama untuk kesekian kalinya.”
Dengan begitu berarti ia telah memiliki modal yang sangat berharga untuk kehidupan di masa depannya. Dengan modal kepekaan dan kemampuan mengambil hikmah serta mengambil keputusan yang tepat maka masa depan yang disongsong akan jauh lebih cerah dan menggairahkan.
Pada umumnya ketiga hal itulah yang membentuk kebijakan seseorang dalam menghadapi persitiwa apapun yang melandanya dan dalam menatap masa depannya. Di sisi lain secara positif kemampuan tersebut dapat membantu melahirkan sikap tawakkal, kebergantungan hati secara sungguh-sungguh kepada Dzat Yang Maha Mengetahui dalam meraih kemashlahatan dan mencegah kemudharatan, baik dalam usrusan duniawi ataupun urusan ukhrawi. “Jaka kamu bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah akan memberik rezeki kepadamu sebagaimana burung yang juga diberi rezeki; ketiks fajar menyingsing dia keluar dari sangkarnya dalam keadaan perut kosong dan di senja hari dia pulang dalam keadaan kenyayng.” (HR, Tirmidzi). Wallahu A’lam.
Rabu, 08 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar