Memang peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan itu, meskipun pada mulanya sebagai peristiwa yang mungkin dipandang remeh dan tampak acak, namun dapat menjadi sebab, langsung atau tidak langsung, terjadinya kegagalan atau kesuksesan yang dialami seseorang. Di dalamnya terkandung kemungkinan-kemungkinan yang tidak diketahuinya secara pasti meski bernilai sangat berharga.
Kemungkinan-kemungkinan itu tak terhingga jumlahnya dan selalu tampak absurd hingga sebagian besar manusia tak peduli terhadapnya apalagi sampai ke tingkat merangkaikannya untuk menangkap hikmahnya. Memang hanya Allah Swt yang mengetahui hakikatnya. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS, al-Baqarah [2]: 216).
Pada umumnya orang baru sadar bahwa peristiwa-peristiwa yang sedang dialaminya merupakan akumulasi dari rangkaian peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan dan sarat makna dan pelajaran setelah wujud dalam bentuk kegagalan atau kesuksesan. Itu pun jika ia memiliki kepekaan untuk menyadari dan merangkai-rangkaikannya. Jika mata hatinya tak peka maka semua kekayaan hikmah dalam setiap peristiwa yang sangat berharga itu akan sia-sia saja bagi perjalanan hidupnya. Ia tidak dapat mersepon petunjuk yang karenanya totalitas perjalanan hidupnya tragis, tersungkru-sungkur dalam kesesatan.” Maka Apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?” (QS, al-Mulk [67]: 22).
Celakanya, orang umumnya cenderung melihat sebuah peristiwa seolah-olah tanpa ada rangkaian dengan peristiwa yang lain yang menjadi sebab terjadinya peristiwa itu. Dengan kata lain orang melihat suatu peristiwa secara a-historis.
Kelemahan dalam menangkap makna setiap peristiwa dan kemudian merangkaikannya dengan berbagai kemungkinan menyebabkan seseorang hanya mampu menatap sesuatu pada yang tampak dan dirasakan secara tangible, bukan pada substansi persoalan yang mendasari sebuah peristiwa yang terjadi. Hal itu juga menunjukkan ketidakmampuannya dalam memahami perintah Allah Swt, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS, al-Hasyr [59]: 19)
Sesungguhnya menangkap fenomenanya dengan kepekaan dan ketajaman bashirah atau mata hati dapat membantu memudahkan dalam merangkai dan menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terhingga jumlahnya dan tampak absurd itu. Dengan begitu, melalui menelusuri rangkaian yang disebut sebab-sebab, semua rangkaian peristiwa yang pada faktanya selalu terangkai dengan pasti itu dapat efektif menjadi faktor yang dijadikan landasan untuk menghindari kemungkinan kegagalan atau kemungkinan meraih kesuksesan.
Dalam konteks pencapaian sebuah harapan atau cita-cita sebab-sebab yang terangkai itu sangat menentukan terhadap gagal dan suksesnya harapan dan cita-cita tersebut. Oleh karena itu Allah Swt memerintahkan agar memperhatikan dan memanfaatkan sebab-sebab yang menjadi faktor keberhasilan peraihan harapan dan cita-cita dikarenakan rangkaian sebab-sebab itu merupakan prinsip yang dharuri dan pasti antara segala peristiwa yang tejadi.
Hal itu dikarenakan pada umumnya setiap peristiwa atau kejadian memperoleh kepastian eksistensinya dari sesuatu atau dari berbagai hal lainnya yang mendahuluinya. Dengan kata lain setiap peristiwa yang terjadi pasti merupakan akumulasi rangkaian peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Semua itu adalah bagian dari sunnatullah yang tetap. “Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada sunnah Allah.” (QS, al-Ahzab [33]: 62). (Insya Allah masih ada sambungannya)
Abu Ridho
Selasa, 07 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar