Ketika seseorang sedang diterpa kegagalan atau sebaliknya dikaruniai kesuksesan, pada hakikatnya dia sedang berada pada situasi puncak akumulasi peristiwa-peristiwa yang saling berkaitan yang terjadi sebelumnya. Di situlah sesungguhnya, dalam dimensi ruang dan waktu, pergumulan sebab dan akibat yang merupakan rangkaian peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain sedang terjadi secara berkelanjutan.
Akan tetapi yang menjadi masalah ialah tidak semua orang mampu menyadari apa lagi merasakan tentang proses panjang dari rentetan peristiwa-peristiwa sebelum terjadinya kegagalan atau kesuksesan. Pada umumnya orang hanya melihat kegagalan atau kesuksesan yang sedang dialaminya. Tidak mau melihat rangkaian peristiwa yang menimbulkannya. Hanya orang yang memiliki kepekaanlah yang menyadari dan merasakan peristiwa-peristiwa yang terangkai dan saling berkaitan itu dan yang mampu mengambil hikmahnya. Padahal kesadaran itu sangat penting bagi ketenteraman suasana psikologis seseorang.
Ketika seseorang atau sekelompok orang tidak memiliki kesadaran untuk menangkap peristiwa-peristiwan yang menjadi sebab suatu kegagalan atau kesuksesan, maka bisa jadi ia atau mereka tak mampu pula bagaimana cara menghindari kegagalan dan meraih kesuksesan. Sama seperti sekelompok orang yang tidak mengerti bahwa peristiwa pertengkaran dan kekerasan itu menjadi salah satu sebab hilangnya kedamaian. Akibatnya mereka bisa saja mencari damai dengan cara mengobarkan pertengkaran dan kekerasan.
Dalam konteks pembangunan keluarga terjadi pula hal seperti itu. Seorang kepala keluarga misalnya, demi menciptakan ketenteraman keluarga, ia lantas memaksa anak-anaknya agar diam dengan cara memarahi atau memukuli. Bahkan dengan satu persepsi ketenteraman keluarga harus tegak, ia tidak segan-segan melakukan berbagai tindakan kekerasan lainnya yang justru bias menimbulkan pemberontakan.
Orang yang memiliki kepekaan itu pada hakikatnya adalah orang yang mata hatinya tajam dalam melihat suatu peristiwa dan kejernihan akalnya dalam merangkaikan peristuwa-peristiwa yang dialaminya. Dengan ketajaman mata hati dan kejernihan akal akan memiliki kepekaan untuk mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang dilihat atau dialaminya.
Seseorang yang mengerti bahwa rangakaian peristiwa itu menjadi sebab dan akibat, ia akan terbebas dari kuasa mengejar akibat. Sama halnya orang makan tidak semestinya mengejar kenyang. Pasalnya ia cukup mengerti bahwa kenyang tentu akan terjadi jika makan banyak. Konon mengejar akibat dapat menimbulkan konflik batin terutama jika tidak terealisasi. Smentara itu konflik batin akan terhindari jika yang menjadi konsern adalah proses yang akan menimbulkan akibat.
Sebagai bukti bahwa suatu peristiwa yang terjadi pada hakikatnya didahului oleh sejumlah perinstiwa yang terjadi sebelumnya kita ambil contoha sepasaang suami istri yang tiba-tiba bercerai dan gagal membangun keluarga. Padahal mereka telah dikaruniai banyak anak. Kegagalan itu tentu terasa pahit bagi keduanya. Akan tetapi mereka belum tentu menyadari, apalagi merasakan, betapa banyaknya peristiwa yang mendahuluinya yang berantai dan saling berhubungan dan kemudian membentuk akumulasi kegagalan perkawinan.
Sejatinya kegagalan mereka membangun rumah tangga yang berujung perceraian itu tidaklah berdiri sendiri. Seandainya mereka sama-sama menyadari dan merasakan adanya peristiwa-peristiwa yang dapat mempengaruhi perjalanan keluarga mereka dan tidak menimbunnya hingga berakumulasi bisa jadi mereka dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang membahayakan struktur keluarganya. Dengan begitu mereka dapat menghindari kegagalan itu.
Peristiwa berantai itu boleh jadi dimulai dari hal-hal yang remeh tetapi kemudian menumpuk hingga menjadi beban psikologis. Misalnya sang suami pernah bercanda menyukai perempuan yang gemuk sementara istrinya sama sekali tidak menyukai kegemukan dengan berbagai alasa. Bahkan ia melakukan diet habis-habisan untuk mengurusskan badannya.
Tentu saja sang istri kurang suka terhadap candaan suaminya tersebut. Selanjutnya dalam perjalanan waktu banyak peristiwa terjadi yang langsung atau tidak langsung turut memperkuat kekurangsukaan istri terhadap candaan suaminya tersebut. Misalnya diketahui suaminya sering tugas bersama dengan perempuan teman sekerjanya yang kebetulan berbadan gemuk. Atau peristiwa-peristiwa lain yang bisa mengkristal hingga membentuk sikap negatif terhadap suaminya.
Celakanya sikap negatif itu disikapi negatif pula oleh suaminya karena dirinya tidak merasa bersalah. Sikap negatif tersebut terus berakumulasi bersama peristiwa-peristiwa lain yang saling berantai dan bisa mempengaruhinya. Nah, ketika ada suatu persitiwa yang menjadi triger atau stimulus, maka akumulasi peristiwa itu bisa saja kemudian mengobarkan pertentangan yang tajam yang ekstremnya mengakibatkan perceraian. (Insya Allah ada sambungannya)
Minggu, 05 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar