Ibu adalah mata air, yang tak henti-hentinya menelusupkan alirnya ke setiap relung hati; yang terus menyirami setiap pohon harapan yang ditanam oleh tangannya sendiri; dan selalu memancarkan air kasih sayangnya di setiap sudut ruang dan waktu. Sosoknya laksana angin yang menghantarkan semilir dan deru, tatkala panas sengangar mencuatkan kegerahan batin.
Sosoknya yang utuh dinisbatkan kepada segala sesuatu yang menjadi pusat. Ummul Qura untuk sebuah pusat orbit peradaban, Ibu Negara untuk sebuah pusat orbit pergerakan politik, dan Ibu Kota untuk sebuah pusat orbit jalannya pemerintahan. Jika keberadaan sesuatu menjadi akar masalah, maka disebut induk masalah.
Sesungguhnya ia ditakdirkan sebagai manusia yang lahir dengan senyum tatkala ia harus bertahan dalam duka yang dipahatkan ke dadanya. Maka ketika Rasulullah Saw ditanya tentang siapa orang yang harus paling dihormati? Nabi menjawab, dengan diulang tiga kali, “Ibumu”, ketika itulah sesungguhnya hari di mana senyum ibu menghiasi setiap sudut ruang dan waktu. Ketika penghargaan atas martabat dan kehormatan para Ibu telah dikukuhkan, “Sesungguhnya surga berada di telapak kaki ibu", sesungguhnya itulah hari di mana setiap ibu melepas selimut duka yang pernah menutupi tubuhnya.
Dengan tegar dan tatapan mata yang pasti, ia sanggup menjadi lautan duka dari anak-anaknya yang telah terperangkap kekejaman budaya, dari suami yang dengan kecongkakannya terkadang berlaku egois dan tak tahu diri, dan dari siapa pun yang tak pernah berhenti menguras energi dirinya. Meskipun memuat seribu duka di dada yang lebih sering tak terungkap dalam kata, nyaris sia-sia jika coba dicari keluh kesahnya dalam seluruh perjalanan kesejarahannya.
Kini, setelah menapaki jutaan tahun lorong sejarah yang berliku-liku, keriput wajahnya semakin bertambah. Dunia telah menggoreskan seribu duka yang ditahtakan kepadanya di sepanjang hidupnya yang tak tahu melepas lelah. Namun senyumnya tak pernah sirna, tetap menggoreskan seribu harapan bagi siapa saja yang telah putus asa mendapatkan kasih sayang.
Tangannya tetap terbentang lebar, siap mendekap erat anak-anaknya yang nyaris terpelanting dari buaian kemanusiaan dan terjerembab ke dalam perubahan budaya yang telah melahirkan pengerutan budaya. Dengan penuh kehangatan ia memeluk setiap anaknya yang sedang menggigil karena tembok-tembok ruang privatnya telah dirobohkan dengan amat kejam oleh apa yang disebut teknologi media.
Namun ketika peradaban dunia semakin renta dan sakit-sakitan, justru badai konspirasi ideologi-ideologi dunia yang keras dan kejam merajamnya dari semua arah mata angin. Darahnya pun mengucur dari luk-lukanya yang perih. Konspirasi itu telah menyapu bersih segala sesuatu yang berkaitan dengan humanitas yang menyebabkan pohon hati jadi meranggas, pola pikir hanya dipatrikan pada rasio, dan ruang privat direnggut hingga semuanya menjadi milik publik.
Ketika itu, sorot mata Ibu tiba-tiba meredup. Keriput semakin membekas di setiap sudut wajahnya. Hatinya amat perih, disayat-sayat pisau dehumanisasi dan depersonalisasi. Luka-lukanya pun menjadi semakin dalam dan mengucurkan darah di sekujur tubuhnya.
Ketika dirinya ditikam oleh budaya liberalisme yang kejam, rakuas, dan hedonik,yang menyebabkan persepsi tentang Ibu sebagai mata air kasih sayang tereduksi dan tereksploitasi maknanya menjadi hanya sebagai pelayan, maka Ibu tiba-tiba nanar dan tak mampu mengenali sosok dirinya lagi. Sedangkan dalam hukum pelayanan, fungsi pelayanan berlaku sepanjang masih terdapat kebutuhan dan kepentingan terhadapnya.
Sungguh amat pedih terasa ketika dalam keadaan luka di sekujur tubuhnya ia harus pula menelan isolianisme dan tiranisme ruang publik terhadap dirinya. Duka pun menyelimuti dirinya ketika sifat-sifat luhur yang melekat pada dirinya direnggut paksa oleh apa yang disebut liberalisme. Bahkan kegelisahan mulai tampak dikarenakan “narasi-narasi besar” mulai diruntuhkan dengan sistemik yang menyebabkan simbol-simbol nilai dan makna-makna otentiknya termangsa oleh ajaran yang disebut “relativisme moral” yang telah merenggut keluhuran dan kemuliaan Ibu serta membiarkannya menggigil dalam ketelanjangan.
Kini, dalam duka, ia hanya mendapat ucapan “selamat hari ibu” setahun sekali dari anak-anaknya yang tak sepenuhnya mengerti apa yang diucapkannya. Terkadang ia mendapat peluk dan kecup anak-anaknya yang dirasakan sebagai kehangatan seremonial sesaat buat dirinya. Meskipun demikian, senyumnya tetap menghiasi setiap sudut ruang dan waktu. Namun entah mengapa, Ibu, aku lihat air matamu mulai menetes, di sini, sekarang ini! Aku pun tak cukup pengetahuan untuk memahaminya. Maafkan Ibu!
ooOOoo
0 komentar:
Posting Komentar