REPUBLIKA.CO.ID, ALMETYEVSK, RUSSIA--Pada saat menginjakkan kaki pertama kali di masjid agung di kota itu, Rustam Sarachev seharusnya bersenang-senang. Ia ingin menghadiri hingar-bingar pesta di sebuah klub malam, namun alih-alih ia malah mengirimkan dirinya ke jalan menuju Islam.
Awalnya seorang teman mengolok-olok karena ia berpikir tentang mengunjungi masjid. Marah, Rustam pun meninggalkan teman-temannya dan mereka berangkat minum-minum tanpa dirinya.
Begitu menyesali pikirannya yang 'jernih', dengan 500 rubel--yang seharusnya digunakan untuk membeli vodka--masih utuh di dompet, ia melangkah menuju sebuah masjid berwarna jingga salmon. Warna itu mendominasi satu sudut timur di sebuah kota minyak kecil, Volga. Saat itu akhir September 2006, awal bulan Ramadan.
Dibangun pada 1990-an dengan dukungan dana Arab Saudi, masjid itu menghadirkan pernyataan kuat di lingkungan setempat. Di dalam Sarachev menjumpai interior dengan aksen pahatan kayu memesona, paduan karpet warna merah dan hijau terlihat kontras saat disandingkan dengan ubin biru bermotif mosaik.
Pada hari libur para jamaah tetap membuka layanan. Selama ibadah sore, ashar menjelang maghrib, dengan arah bangunan menuju barat daya, Mekah, sebuah jendela di sisi kanan memasukan sekilas pemandangan langit megah berwarna merah muda, seperti dunia lain. Bahkan terlihat sorotan sinar menerpa lima kubah emas gereja Ortodok di seberang jalan.
"Saya sungguh terkejut," kenang Sarachev. "Saya tidak bisa memahami di mana saya berada. Saat itu didalam hanya ada orang-orang muda. Mereka memperlakukan saya begitu baik. Saya tidak pernah sebelumnya disambut seperti itu," tutur Sarachev.
Dalam aula masjid ia melihat wajah yang akrab. Seorang teman, Almas Tikhonov, yang selama ini dikenal tukang pesta berkepribadian kasar. Ia di sana, sedang berdoa. Ia terkesan dengan cara Almas melihat, ada ketenangan menarik dalam dirinya.
Hari-hari berikut, gambaran-gambaran itu terus berkutat dan tak bisa lepas di pikiran Sarachev. Ia pun memutuskan kembali ke masjid, lagi, lagi dan lagi. Ia harus menanggung cibiran teman-teman lamanya--dan ia akui itu berat--namun sekaligus, yang membuat tekadnya kian kuat.
Lama-kelamaan ia mulai melihat kawan-kawannya dengan cara pandang baru dan cahaya baru. Itu membuat ia mudah meninggalkan minum-minuman, pesta dan nongkrong di sudut-sudut jalan, atau mengendap-endap di sebuah desa di mana mereka dapat berpesta semalaman penuh, jauh dari pantauan orang tua.
Ketika ia menoleh kembali ke belakang, ia sendiri tak yakin apa yang membuat ia mendatangi masjid dan apa yang ia harapkan dari kunjungan itu. Berusia 17 tahun, kala itu ia merasa kehilangan diri. Sarachev melabeli dirinya holigan, pembuat onar dengn kepribadian yang dikeraskan oleh kehidupan. Namun, ia juga mengingat sangat rapuh dengan hinaan dan merasa sakit ketika menemui dirinya sebagai pemuda tanpa masa depan.
Mata Sarachev terbuka. Ia akhirnya menyadari bahwa dunia penuh dengan kejahatan. Tugas seorang Muslim yang baik adalah mengatasi dan mengalahkan semua kejahatan itu. Dan sesuatu di sana, ia tahu, meski ia mengaku masih memproses dalam pikirannya, terletak pengertian Jihad. "Itu adalah perjuangan terhadap mereka yang tidak meyakini," ujarnya "Itu bukan sekedar ujian. Jihad adalah perang." (bersambung)
Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: The Washington Post
0 komentar:
Posting Komentar