Ketika individu-individu dalam sebuah masyarakat dicengkeram individualisme, maka akan terbentuk apa yang disebut masyarakat individualistik. Dalam masyarakat individualistik setiap individu menjadi subyek-subyek individual yang bebas merealisasikan dorongan-dorongan intrinsiknya untuk menggapai kebahagiaannya yang ditentukan oleh hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kegunaan dan manfaat orang banyak (masyarakat). Oleh sebab itu seorang individualis berusaha meniti pencapaian dan kehendak peribadinya dengan cara menentang campur tangan orang luar, apakah dari masyarakat atau dari negara, dari lembaga, atau dari perkumpulan apa pun, ke atas pilihan peribadi mereka.
Individualisme menentang segala pendapat yang meletakkan tujuan kolektif (masyarakat) sebagai sesuatu yang lebih penting daripada tujuan seorang individu. Selain itu individualisme juga tidak senang terhadap segala standard moral dan aturan yang dikenakan ke atas seseorang kerana diasumsikan peraturan-peraturan itu menghalangi kebebasan seseorang untuk meraih cita-cita dan kepentingan individualnya.
Rasulullah Saw melukiskan situasi psikologis seperti itu sebagai situasi yang dapat membinasakan. “Tiga hal yang membinasakan: (1) kekikiran yang diperturutkan, (2) hawa nafsu yang diumbar, dan (3) kekaguman seseorang terhadap dirinya seniri.” (HR, al-Thabrani).
Atas dasar penjelasan tersebut, antara individualisme dan egoisentrisme nyaris tidak bisa dipisahkan, atau setidak-tidaknya harus dipandang kembaran. Baik individualisme atau pun egosentrisme memiliki kecenderungan yang sama dalam menilai obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa, yaitu berdasarkan kepentingan indiviu atau egonya. Dalam waktu yang sama keduanya tidak peka terhadap kepentingan-kepentingan di luar dirinya.
Secara psikologis orang yang mengidap individualisme dan egosentrisme sama, yaitu ingin selalu mendahulukan kepentingan sendiri. Keduanya berkeyakinan tidak ada satu tindakan yang sepenuhnya tidak mementingkan diri sendiri. Selanjutnya, menurut mereka, banyak tekanan hidup yang membuat orang menjadi lebih egois dan individualis. Mereka juga merasa hanya dirinyalah yang paling sibuk. Dalam keadaan seperti itu orang cenderung mudah melupakan kepentingan orang lain, bahkan menganggap remeh orang lain.
Individualisme dan egoisme semakin menjadi-jadi seiring dengan semakin menumpuknya problem kehidupan manausia modern yang secara sosial kemasyarakatan tidak dapat diatasi. Akibatnya, orang cenderung mengambil sikap nafsi-nafsi dan tidak peduli terhadap orang lain. Ketika tak ada lagi kepedulian, maka rasa syukur kepada Allah pun akan sirna. Akhirnya kehidupan menjadi kejam dan bisa jadi setiap orang terlibat aktif dalam kekejaman.
Oleh karena itu, baik seorang individualis atau pun seorang egois sama sukarnya untuk dapat memahami kepentingan orang lain serta sama tidak akan dapat menerima perbedaan kepentingan dan pandangan yang mungkin berbeda dengan dirinya. Sampai di sini, perasaan ujub menemukan sosoknya yang jelas.
Secara etik, baik seorang individualis atau pun seorang egois sama berpandangan bahwa setiap orang harus berusaha menyukseskan kepentingannya sendiri; bahwa kehidupan adalah kepuasan puncak bagi diri sendiri.
Ketika individualisme diejewantahkan dalam kepemimpinan organisasi, partai, atau negara, maka organisasi, partai, atau negara akan dipandang sebagai milik individu atau komplotan. Karena itu ketiga institusi itu akan diperlakukan sekehendaknya tanpa punya rasa kewajiban untuk berpijak kepada aturan yang ada. Akan lebih berbahaya jika individualisme dalam kepemimpinan diperkental dengan sifat licik, rakus, dan culas.
Individualisme yang bersarang dalam sebuah organisasi atau jamaah berbahaya pula bagi kelangsungan hidupnya Dalam sebuah organisasi, partai politik, atau jamaah, dapat ditemukan hukum manusia individualistik. Salah satu indikasinya ia hanya bisa bergabung dengan orang yang memiliki pandangan dan semangat yang sama yang dapat diamati melalui keputusan-keputusan, perilaku, dan tindakan pimpinan dan anggotanya. Kebijakan, keputusan, dan perilaku individualistik yang berkembang dalam sebuah organisasi sesungguhnya mengindikasikan watak orisinalnya para pemimpinnya.
Salah satu watak manusia yang di dalam dirinya telah bertahta individualisme ialah kesukaanya membikin gruping di dalam organisasi. Pada umumnya, penggrupan itu sengaja ditumbuhkan di dalam tubuh organisasi oleh orang-orang yang memiliki kecenderungan sama. Kemudian mereka mengajak orang-orang yang sejatinya tidak berbakat individualis akan tetapi berpotensi untuk disubordinatkan.
Biasanya faktor uang cukup efektif unutuk menyubordinatkan seseorang sebagaimana diisyaratkan Nabi Muhammad dalam hadits berikit kem. ”Dari Abdullah bin ’Amru bin ’Ash, Rasulullah Saw bersabda, ”Apabila Persia dan Romawi sudah ditaklukkan, kalian akan menjadi ummat yang mana?” Kata Abdurrahman bin ’Auf, kami menjawab, ”Menjadi ummat sebagaimana yang diperintahkan Allah.” Sabda Rasulullah Saw, ”Atau mungkin tidak begitu? Kalian justru akan saling bersaing dalam ewahan dunia, kemudian saling mendengki, kemudian saling tidak mau tahu, kemudian saling bermusuhan dan lain sebagainya. Kemudian kalian mendatangi orang-orang muhajir yang serba melarat lalu kalian memperbudak mereka atas sebagian yang lain ” (HR, Muslim)
Jika orang yang memiliki kecenderungan individualistik dalam sebuah organisasi kebetulan tidak menjadi top pimpinan, biasanya, dalam melaksanakan program-program untuk mencapai tujuan-tujuan individualnya, mereka secara bersama-sama membangun solidaritas dalam jaringan kepentingan individual yang sengaja diciptakan di dalam tubuh organisasi. Kemunculannya wujud dalam bentuk-bentuk grouping yang sengaja dikembangkan di dalam tubuh organisasi.
Suatu hal yang selalu menjadi ciri orang yang berkecenderungan individualistik selalu tidak tahan hidup di dalam sistem amal jama’i yang banyak terdapat batasan-batasan norma kolektif, lebih-lebih menjadi anak buah yang harus melaksanakan norma-norma tersebut. Mereka, dengan berbagai cara terus-menerus menggerogoti atau setidak-tidaknya mengelak dari sistem amal jama’i, atau memandulkannya dengan cara membuat kebijakan atas nama kewenangan pimpinan. Bagi mereka sistem amal jama’i yang berkembang menjadi hambatan utama semangat individualisme yang berkobar-kobar di dalam diri mereka.
Selanjutnya, mereka terus-menerus membangun konflik dengan orang-orang atau pengurus yang tidak mau dijadikan subordinatnya dalam berorganisasi atau dalam berjamaah. Mereka biasanya tidak dapat bekerja sama dengan orang lain dan menganggap kesuksesan untuk dirinya hanya dapat diraih bila ia ’berjalan’ sendiri.
Kalaupun ia tetap berada dalam organisasi, ia tetap mengabikan norma dan aturan organisasi yang menjadi instrumen kehesif bagi anggotanya. Sebagai gantinya, mereka menjadikan uang sebagai instrumen kehesif dalam membangun jaringan di tubuh organisasi.
Berbeda jika dia sebagai top leader dalam sebuah organisasi atau jamaah, ia bahkan akan mengidentikkan dirinya dengan organisasi atau jamaah yang dipimpinnya. Organisasi atau jama’ah dipersepsi sebagai miliknya. Dalam banyak hal organisasi yang dia bangun mirip sebuah perusahaan yang ia miliki sendiri. Oleh sebab ia memersepsi dirinya sebagai personifikasi organisasi, maka ia menuntut ketaatan mutlak para anggotanya.
Rabu, 01 Desember 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar