REPUBLIKA.CO.ID, Saban hari kita dibombardir dengan kabar terbaru seputar olahraga, politik dan berita dunia, dan kita kerap berinisiatif menggali lebih jauh atas cerita dan topik yang menarik minat. Lalu, mengapa ini menjadi salah satu topik paling signifikan dalam dekade lalu dan terus menjadi salah satu yang paling disalahpahami?
Islam, sejauh ini, adalah salah satu bahasan paling kontroversial. Namun, sejak serangan pada 11 September, hanya ada peningkatan sekitar 6 persen pada jumlah orang-orang yang tahu sebagian atau banyak tentang Islam, setidaknya menurut Riset Pew.
Miskin komunikasi dan interaksi antara Muslim dan non-Muslim adalah sebagian faktor yang patut disalahkan atas ketiadaan hubungan yang kian memburuk. Beberapa Muslim, sangat dipahami, bila menarik diri dari masyarakat karena didorong ketakutan atas penolakan dan diskriminasi. Terutama di tengah situasi nasional yang benci dengan tindak kejahatan.
Pada saat bersamaan, banyak warga non-Muslim mungkin merasa tidak nyaman berinteraksi dengan seseorang yang memiliki agama berbeda secara nyata dari agama mereka. Ironisnya itu adalah pandangan yang diyakini oleh 65 persen non-Muslim dalam sebuah survei terpisah, yang juga dilakukan oleh Pew Riset.
Sebagai warga Amerika kulit putih keturunan Eropa, saya secara pribadi selalu melihat dunia dari dua prespektif. Hanya, setelah mengenal dan akrab dengan teman-teman satu kelas berdarah Arab-Amerika di kampus, baru saya tertarik memelajari budaya mereka yang memesona, termasuk agama mereka, Islam. Setelah bertahun-tahun memelajari Islam secara non-formal, saya menjadi salah satu dari beberapa ribu warga Amerika--sebagian besar adalah wanita--yang beralih memeluk Islam.
Pengamatan saya tentang berbagai praktik Islam telah memberi dampak pada kehidupan pribadi, termasuk shalat lima kali sehari dan berpuasa selama Ramadhan, namun tidak ada yang lebih berdampak langsung dari keputusan saya untuk mengenakan penutup kepala. Saat pertama kali menggunakan kerudung, saya mendapat banyak tentangan, keberatan dan bahkan pandangan dan sikap diskriminasi.
Tak hanya itu, beberapa kali saya malah diminta "kembali pulang ke negara saya". Tampaknya kulit putih yang terang dan mata biru saya tidak berarti apa-apa. Kerudung yang saya kenakanlah yang kini mengatakan semuanya. Saya kini memahami bahwa sikap alami manusia untuk tidak menyukai apa yang mereka tidak tahu dan tidak pedulikan. Satu-satunya cara untuk hadir berdampingan antara satu dengan yang lain adalah mendidik diri sendiri untuk hidup dalam kemajemukan masif berisi orang-orang yang juga memanggil Amerika rumah mereka.
Jika salah satu dari mereka memilih untuk mengenal hanya sedikit juta Muslim Amerika, maka mereka pun akan menemukan bahwa banyak dari Muslim yang tidak jauh beda dengan warga lain. Malah, fakta di lapangan mengatakan satu seperempat populasi Muslim di Amerika adalah warga kulit putih yang beralih dan juga keturunan Afrika-Amerika, sebagian besar memiliki latar belakang Kristen, demikian menurut survei Pew Forum pada 2007.
Mungkin yang lebih mengejutkan adalah ajaran Islam sesungguhnya sangat kontras dari selip pemahaman umum yang banyak beredar. Kemiripan Islam dengan keyakinan Ibrahim lain, mungkin dapat menjadi titik tolak menakjubkan bagi dialog antarkeyakinan yang sangat dibutuhkan.
Dari keyakinan satu Tuhan yang sesungguhnya, dipanggail sebagai Allah; keyakinan yang dianut banyak nabi di agama Ibrahim lain, juga keyakinan Yesus dan Maria Perawan; seseorang dipastikan akan menemukan bahwa tiga pohon keyakinan itu berakar dari fondasi yang sama, namun bercabang ke berbagai arah seiring dengan waktu.
Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Charlotte Observer
0 komentar:
Posting Komentar