“Banyak orang merasa rugi dan kemudian menyesali dirinya karena ia telah lupa pada sesuatu, padahal belum tentu ia berakibat merugikan dirinya. Sebaliknya sedikit orang yang merasa rugi dan kemudian menyesali dirinya karena ia telah lupa Tuhan-nya, padahal kerugian akibat melupakan-Nya pasti dan sangat fatal buat dirinya, dunia dan akhirat. Paling tidak akan menyebabkan ia lupa pada eksistensi dirinya (QS, 49: 19).”
Penyesalan pada umumnya datang dikarenakan terlambatnya kesadaran akan nilai sesuatu, terutama sesuatu yang melekat pada nikmat yang dianugerahkan Allah swt. Sebagai konsep abstrak dalam diri manusia nilai umumnya mengacu kepada sesuatu yang dianggap baik dan yang dianggap buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah.
Di dalam nilai terkandung sesuatu yang pantas dan unggul. Yaitu kualitas yang membuat sesuatu menjadi diidamkan, bermanfaat, atau jadi obyek ketertarikan; sesuatu yang dihormati, dihargai, atau ditinggikan. Dalam perkembangannya dikenal istilah nilai instrumental dan nilai intrinsik.
Nikmat Allah Swt yang tak terhingga banyaknya ini harus disyukuri dan tidak boleh dikufuri. Begitu ketentuan dan sunnatullahnya. Nikamt yang disyukuri akan membuahkan nikmat baru yang semakin melimpah. Sebaliknya nikmat yang dikufuri hanya akan melahirkan malapetaka dan, tentu saja, juga akan melahirkan penyesalan.
Imam Ghazali melukiskan syukur dan sabar sebagai sayap yang menerbangkan spiritualitas manusia ke jenjang yang tinggi. Sedangkan rasa syukur seseorang tidak hanya berupa ucapan terima kasih atau Alhamdulillah. Juga tidak hanya mengkonsumsi dan menikmatinya dengan baik. Selain itu ia juga harus menyadari nilai yang terkandung di dalamnya dengan tepat waktu.
Keterlambatan kesadaran akan nilai suatu nikmat dapat berakibat fatal, akan menimbulkan penyesalan yang tiada guna. Sayangnya, setiap penyesalan pasti datang terlambat. Padahal, ketika penyesalan terus merapat pada diri seseorang, maka kerugian yang akan dideritanya ialah hilangnya nikmat dan rusaknya suasana batin.
Kedua kerugian itulah yang secara faktual dapat memperburuk kekacauan suasana batin seseorang. Kekacauan itu bisa menjadi faktor menguatnya rasa frustrasi, stress, dan penurunan martabat kemanusiaan.
Oleh sebab itu dengan tajam Imam Ibnu ‘Athaillah mengingatkan agar setiap individu memiliki kesadaran tentang nilai yang melekat pada nikmat-nikmat Allah Swt. Sayangnya, nilai itu sering disadari ketika sudah lepas dan tidak akan kembali. “Orang yang tidak mengetahui nilai nikmat tatkala memperolehnya, ia akan mengetahuinya tatkala sudah lepas darinya.” Wallahu A'lam .
Abu Ridho
Sabtu, 06 November 2010
Label:Renungan
0 komentar:
Posting Komentar