Saya pernah membaca tentang sebuah diskusi. Topiknya sangat menarik perhatian, sehingga saya ingin Anda pun tertatrik.
Diskusi ini berangkat dari satu pertanyaan, “Mengapa pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah kurang populis? Mengapa fikrah-fikrah bathilah (yang tidak benar) justru lebih populis? Padahal, kalau dicermati (khususnya oleh kalangan terpelajar) banyak sekali pemikiran dan produk-produk ijtihad Ibnu Taimiyah yang sangat brilian, bahkan banyak diadopsi para ulama dan kiai (meskipun dalam kenyataannya, mereka sangat menentang dan antipati dengan Ibnu Taimiyah).”
Salah satu jawaban yang sangat menarik perhatian saya adalah: karena Ibnu Taimiyah tidak didukung oleh banyak penyair, dan hampir tidak ada syair-syair dukungan terhadapnya yang disenandungkan (di-nasyid-kan)!
Nasyid adalah senandung. Ia mirip lagu atau bahkan ia adalah lagu. Karena ia sebuah lagu, ia mudah dihafal, enteng pula dinyanyikan. Nasyid dapat dilakukan saat: Berjalan, Rebahan, Mengendarai atau Naik Kendaraan, Sambil Meminang Anak, dan Sebagainya. Singkatnya, nasyid mudah sekali populer.
Jika kita mampu menggubah suatu atau beberapa nasyid yang berisi Al Haqq, maka Al Haqq itu mudah sekali menjadi populis.
Ada satu hal lagi yang menyebabkan nasyid lebih cepat menjadi populis. Masyarakat kita (paling tidak di Jawa), senang sekali mengadakan hajatan: menikahkan anak, mengkhitan, walimahan aqiqah, peringatan ini, peringatan itu, dan lain sebagainya.
Untuk acara hajatan seperti itu, kita tidak bisa memaksakan kepada mereka untuk: Diam tanpa bunyi-bunyian, apalagi di era elektronik dan digital serta di tengah teknologi yang gegap-gempita, atau Memutar kaset tilawah secara terus-menerus.
Masyarakat pun merasa bahwa untuk acara-acara peringatan yang bernuansa Islam, tidak pantas diputarkan lagu-lagu dangdut, pop, apalagi jazz dan semacamnya. Jadilah nasyid sebagai suatu alternatif yang -bagi mereka- menjadi jalan keluar yang sangat tepat.
Dari gambaran di atas, saya berpikir ulang, mengapa para ulama terdahulu banyak menggubah nazham (semacam syair) untuk mengemas ilmu-ilmu yang termasuk kategori berat, seperti: ilmu nahwu, sharaf, balaghah, musthalah hadits, dan semacamnya? Bahkan ada pula ilmu-ilmu syariah yang digubah menjadi suatu nazham dalam bahasa daerah, Jawa misalnya. Ada nazham fikih, nazham tajwid, dan nazham-nazham lainnya dalam bahasa daerah. Dengan demikian, akan mudahlah anak-anak dan masyarakat pada umumnya memahami kandungan ilmu-ilmu syar’i tersebut.
Bila permasalahan nasyid ini kita tarik ke belakang, ke sejarah dakwah dan sirah Nabi Muhammad Saw., serta para sahabat, ternyata kita temukan bahwa Rasulullah Saw. mempunyai beberapa (kalau tidak bisa dikatakan banyak) penyair, diantaranya:
1). Hasan bin Tsabit r.a.
Rasulullah Saw. bersabda, “Qul ya Hasan wa Jibriilu ma’aka.” (Jawab dan Katakan Wahai Hasan -maksudnya bin Tsabit- dan Malaikat Jibril bersamamu)
2). Abdullah bin Rawahah r.a.
Memiliki syair Jihad yang sangat menggugah para mujahidin, diantaranya:
Wahai Jiwa dan Nafsuku,
Saya bersumpah dengan nama Allah Swt.,
kamu harus turun ke medan laga,
Turun dengan suka rela atau harus aku paksa.
3). Dan masih ada beberapa sahabat dan shahabiyah lainnya.
Rasulullah Saw. sendiri menyemangati kaum muslimin dengan melantunkan nasyid, saat beliau bersama kaum muslimin menggali parit pertahanan Madinah dari serbuan pasukan multinasional (perang khandak).
Tentunya, nasyid yang saya maksudkan disini bukan nasyid-nasyid “cengeng”, -sebagaimana dikatakan sebagian orang, bukan nasyid-. Nasyid yang memperbincangkan wanita, pornografi, kemungkaran, dan semacamnya. Pun jangan sampai nasyid-nasyid itu itu mengandung hal-hal yang menyelisihi syariat Islam, baik dalam sisi muatannya ataupun sisi membawakannya.
Saudara dan saudariku yang dimuliakan Allah Swt....
Banyak sekali nilai-nilai Islam yang harus kita sosialisasikan, nilai-nilai akidah (Makrifatullah, Tauhidullah, Keagungan Allah Swt., Iman kepada para Malaikat, kepada Kitab, kepada Rasul, kepada Hari Akhir, dan kepada Qadha’ Qadar), nilai-nilai Ukhuwah, Ibadah, Akhlak, Mahasinul Islam (sisi kebaikan Islam), dan lain sebagainya.
Di antara nilai-nilai itu ada yang sudah memiliki nasyid, meskipun tidak menutup kemungkinan munculnya nasyid-nasyid baru dengan nilai sama. Di antara nilai-nilai itu banyak pula yang belum memiliki nasyid. Karenanya, bila saudara dan saudariku seiman memiliki kemampuan menggubah nasyid atau nazham, gubahlah -wa Jibriilu ma’ka Insya Allah- agar nilai-nilai Islam mudah diserap oleh masyarakat kita, terutama dari kalangan anak-anak.
Sebagai penutup, simaklah penggalan dari nasyid ini!
Nasyid kami adalah penyemangat kehidupan. Nasyid kami adalah penerang para dai...
Ia adalah cahaya, harapan, senyuman, dan sinar terang. Nasyid kami adalah api bagi para Thaghut...
Mengutip artikel dari buku, “Membangun Ruh Baru, taujih pergerakan untuk para kader dakwah”, karya Ustadz Musyaffa Abdurrahim, Lc.
dengan sedikit perubahan.
Rabu, 13 Oktober 2010
0 komentar:
Posting Komentar