REPUBLIKA.CO.ID, PARIS--Mohammed Arkoun, salah seorang pemikir Islam, akhirnya menyerah. Setelah melewati masa yang panjang, ia tak lagi mampu melawan kanker yang mendekam di tubuhnya. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa (14/9) malam di Paris, Prancis. Di sisi lain, usianya memang telah merambat senja, 82 tahun.
Terlepas dari pro dan kontra mengenai dirinya, Arkoun telah menorehkan pemikiran Islam di sepanjang karier akademisnya. Tak jarang ia melontarkan kritik tajam. Ia, misalnya, menyatakan bahwa Islam terperangkap dalam diskusi tentang isu-isu yang bukan pada zamannya dan gagal menghadapi realitas.
Berpijak pada hal inilah kemudian Arkoun mencoba mengombinasikan antara Islam dan modernitas. Agar Islam mampu merespons zaman. Ia membedakan antara teks-teks Alquran yang sakral dengan beragam penafsiran mengenai kitab tersebut. Menurut the Daily Star, ia pun membawa perspektif humanis dalam studi-studi Islam.
Ia becermin pula pada masa kebangkitan di Eropa maupun revolusi Prancis. Hingga kemudian, kritik pun terlontar dari mulutnya terhadap sejumlah sarjana Muslim. Menurut dia, ada sebagian dari mereka yang tak mampu melihat sejarah Islam secara kritis dan ilmiah. Layaknya sarjana Barat melakukannya terhadap agama Kristen.
Padahal, Alquran mendorong manusia untuk mencari pengetahuan. Namun, sayangnya sebagian sarjana Muslim yang berlaku begitu rigid. Arkoun berbicara soal benturan, yang sering dimanfaatkan oleh segelintir politikus atau penguasa demi menggapai kepentingannya sendiri-sendiri.
Dalam sebuah konferensi di Roma, Italia, lelaki kelahiran Taourit-Mimoun, sebuah desa kecil di wilayah Kabylia, timur laut Aljazair, ini mengatakan, tragedi sejarah seperti konflik Arab-Israel dan situasi di Irak serta wilayah Timur Tengah lainnya, merupakan buah dari aliansi politik yang dirancang secara rapi.
"Kita perlu melihat segala sesuatu dari dua sisi. Tak sekadar pada akibat, tetapi juga penyebabnya," katanya seperti dikutip Middle East Online. Ia pun menegaskan, kondisi di Timur Tengah bisa jadi pula akibat para penguasa di sana menjalin kerja sama dengan mereka yang melakukan kendali di wilayah tersebut.
Arkoun menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam bahasa Inggris dan Prancis, sebaik ia menuliskannya dalam bahasa Arab. Dengan pemikirannya yang ingin terkadang dianggap menggugat kemapanan, tak jarang sejumlah kalangan berseberangan dengannya dan menyebutnya bukan seorang Muslim.
Hal yang sama dialami oleh rekan-rekan sepemikiran dengannya, yaitu Abu Zayd dan Muhammad Abid Al-Jabri. Harian the National, dalam tulisannya untuk mengenang Arkoun, mengatakan, Arkoun kerap membahas isu-isu sensitif seperti budaya Arab, Islam, dan sekularisme, serta hukum agama dari sisi epistimologi dan antropologi.
Harian tersebut memberi catatan pula mengenai bahasa yang digunakan Arkoun dalam tulisannya, yaitu Prancis. Sebagai seorang yang lahir di Aljazair dan fasih menulis dengan bahasa Prancis, ia membuka diri untuk dikritik. Ia dianggap menulis dengan bahasa kolonial. Prancis pernah menduduki Aljazair.
Namun, melalui sikapnya, Arkoun ingin menunjukkan sesuatu. Ia tak ingin ada sesuatu yang disakralkan atau diinstitusionalkan. Dan, Arkoun tak berharap pemikiran seperti mengendap di dalam otaknya. "Hal inilah yang mengundang kekaguman orang terhadapnya," demikian the National.
Sejak awal ilmu pengetahuan memang menarik minat Arkoun. Desa kecil tempat ia tinggal tak membuatnya berkecil hati menimba ilmu. Setelah menuntaskan pendidikan dasarnya, ia kemudian melanjutkan studinya. Ia akhirnya mengeyam pendidikan tinggi di University of Algiers.
Di perguruan tinggi ini, Arkoun mendalami literatur Arab, hukum, filsafat, dan geografi. Melalui bantuan Louis Massignon, salah satu pengajar di universitas tersebut, Arkoun kemudian melanjutkan pendalaman bahasa dan literatur Arab di Sorbonne University, Prancis.
Usai menyelesaikan belajarnya, ia mengajar di sejumlah universitas sebelum akhirnya pada 1980 ia ditetapkan sebagai profesor di Sorbonne Nouvelle Paris III. Ia mengajar tentang sejarah pemikiran Islam dan mengembangkan sebuah disiplin ilmu tersendiri, yaitu Islamologi terapan.
Sejak 1993, ia merupakan profesor emeritus di Sorbonne. Di samping itu, ia terus menyampaikan kuliahnya ke seluruh dunia. Pada 2008, ia memimpin proyek "History of Islam and Muslims in France from the Middle Ages to the Present time", sebuah pekerjaan yang bersifat ensiklopedis dan melibatkan banyak sejarawan dan peneliti.
Di Prancis, sosok dan pemikiran Arkoun sangat dihormati. Berbagai jabatan mentereng di bidang ilmu pengetahuan ia duduki. Ia masuk sebagai anggota Panitia Nasional Prancis untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Arkoun juga anggota Majelis Nasional Prancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan Prancis. Gelar kehormatan universitas seperti Officier des Palmes Academiques pun ia rengkuh. Dan tentu saja, Arkoun menduduki kursi direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle.
Ke Jakarta
Sepuluh tahun lalu, tepatnya di awal April 2000, Arkoun menginjakkan kakinya ke Indonesia. Negara dengan umat Muslim terbanyak di seluruh dunia. Ia diundang berpidato dalam sebuah seminar bertajuk "Konsep Islam dan Modern tentang Pemerintahan dan Demokrasi".
Arkoun berbicara panjang lebar tentang banyak hal di hadapan para pengunjung seminar, yang kebanyakan kaum muda. Ia menyinggung soal masa jaya Islam di abad pertengahan. Ia berbicara soal pluralisme yang menurutnya hilang dari Islam. Arkoun juga menegaskan soal 'penjajahan' pola pikir yang masih menjangkiti sebagian umat Muslim.
Soal politik, Arkoun berargumen kalau selama ini Islam lebih dipergunakan sebagai alat politik. Bukan sebagai alat untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan keragaman. Sementara terkait pendidikan, Arkoun menyoroti betul pentingnya pendidikan berdasar humanisme.
Ia mengajak sekolah-sekolah mengajarkan multibahasa, sejarah, dan antropologi. Yang tidak kalah penting, Arkoun menganjurkan agar sejak dini perlu ada pelajaran perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama.
Red: irf
Rep: Ferry Kisihandi
0 komentar:
Posting Komentar