Adalah al-Manshur bin Ammar RHM ditanya oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan, "Wahai Manshur, ada masalah yang mengganjal sejak setahun ini, siapakah sebenarnya orang yang paling pintar, siapa pula orang yang paling bodoh?"
Al-Manshur menjawab, "Wahai amirul Mukminin, orang yang paling berakal adalah orang yang berbuat baik, namun dia tetap merasa takut kepada Allah. Sedangkan orang yang paling bodoh adalah orang yang mengumbar dosa, namun merasa aman dari siksa Allah SWT."
Fragmen tersebut diatas tampaknya relevan dengan momen Ramadhan yang kita jalani dan akan kita lewati. Banyak peluang kebaikan, bertabur pula harapan pahala dan pengampunan. Semua orang jadi giat beramal. Ada yang sedih karena merasa belum optimal, namun tak sedikit yang merasa telah berjuang total.
Ada baiknya kita mengevaluasi diri sendiri. Parameternya yaitu kata mutiara al_Manshur diatas. Dimanakah posisi kita. KIta bertanya pada diri sendiri. Apakah termasuk orang-orang yang berakal atau justru masih berkubang menjadi orang-orang yang bodoh?
Ramadhan masih sepuluh hari lagi. Ramadhan akan berlalu. Menyisakan orang yang tertipu dengan ungkapan "kembali suci". Mereka merasa bersih dari dosa, seperti kain yang kembali putih tanpa noda, karena Iedul Fitri diartikan hari menjadi kembali suci. Padahal Rasulullah SAW memahaminya berbeda, "Dan adapun, (maksud) hari fitri adalah hari berbuka kamu dari puasa." (HR. Abu Daud)
Adapun isi hadits selengkapnya sebagai berikut " Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, serta Zuhair bin Harb, dan ini adalah haditsnya, mereka berdua mengatakan; telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, dari Abu 'Ubaid, ia berkata; aku menghadiri 'Id bersama Umar, beliau memulai shalat sebelum berkhutbah kemudian berkata; sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang dari berpuasa pada dua hari ini, adapun hari Adlha, maka kalian makan sebagian dari daging sembelihan kalian, adapun hari Fithri maka merupakan berbuka kalian dari puasa. (HR ABU DAUD HADIST NO - 2063).
Meskipun demikian, Nabi SAW tidaklah dusta. Bahwa shalat Tarawih menghapus dosa yang telah lalu, begitupun dengan shaum disiang harinya. Kita ahrus berharap, agar semua ibadah kita diterima, dosa-dosa kita pun terampuni. Tapi kita juga perlu khawatir, bisa jadi amalan itu belum memenuhi kriteria 'maqbul." Sehingga perasaan "kembali suci" kadang menipu, membuat orang enggan meningkatkan amal dan menyepelekan dosa.
Kemudian, siapakah yang berani menjamin amalnya telah ikhlas dan tetap ikhlas? karena keikhlasan itu harus ada sebelum, ketika beramal dan setelah menjalani amal. Batas akhir ikhlas adalah ajal. Boleh jadi, seseorang bisa ikhlas pada awalnya lalu merusak amalnya dengan riya', sum'ah maupun ujub. Maka, amal yang telah lalu tidak diterima dan tidak bisa menghapus dosa. Sudah sepantasnya kita tidak terpedaya dengan amal yang telah kita lakukan.
Mungkin inilah alasan sahabat Abdullah bin Umar yang meskipun telah beramal luar biasa, tetap saja mengatakanm "Andai saja aku tahu pasti, ada satu sujud (shalat) saya telah diterima, maka aku berangan-angan sekiranya aku mati sekarang juga."
Lihat pula bagaimana jawaban Hatim al-Asham, tatkala ditanya bagaimana cara beliau mendirikan shalat. Beliau menjawab, "Apabila datang waktu shalat aku segera berwudhu dengan sempurna, lalu datang ke tempat shalatku, akupun duduk mengkonsentrasikan seluruh jiwa ragaku, kemudian aku berdiri dengan ketundukkan dan rendah diri, kijadikan Ka'bah seakan-akan diantara kedua mataku, titian shirat dibawah kedua telapak kakiku, surga disebelah kananku, dan neraka disebelah kiriku, malaikat maut dibelakangku, dan kubayangkan bahwa ini shalat terakhir bagiku, selanjutnya aku tempatkan diriku diantara rasa takut dan penuh pengharapan. Kemudian aku bertakbir dengan penuh keyakinan akan kebesaran Allah, lalu aku membaca al-Fatihah dan surat dengan sedalam-dalamnya penghayatan. Kemudian aku ruku' dengan tuma'ninah, selanjutnya akupun sujud dengan segala rasa rendah diri, lalu aku duduk diatas pangkal paha kiriku, dan kutegakkan telapak kaki kananku diatas ibu jarinya, semua itu aku usahakan diatas keikhlasan hati setulus-tulusnya. Dan selanjutnya....aku tak tahu pasti, apakah shalatku itu diterima oleh Allah ataukah tidak!
Kita semua faham bahwa disebutkannya keutamaan suatu amal shalih dengan janji-janji pahala adalah supaya kita terdorong untuk melakukannya dan bukan meendahkan amal lainnya.
Misalnya tentang keutamaan tahmid, Rasulullah SAW bersabda, "Dan bacaan alhamdulillah itu bisa memenuhi timbangan." (HR. Muslim) Hadits ini mengarahkan agar memperbanayak ucapan tahmid dan bukan menafikan amalan lain. Salah jika berfikiran karena timbangan sudah penuh lantas menganggap kirang afdhal amalan lain.
Orangyangcaerdik juga memahami, bahwa tujuan disebutkannya amal-amal yang berfaedah menghapus dosa adalah menghasung kita agar segera bertaubat dan membersihkan diri dari dosa. Bukan justru dijadikan alasan untuk menumpuk dosa baru dengan alasan dosa yang telah lalu terhapus.
Bukankah anak dikatakan durhaka bila sengaja membuat jengkel ayahnya, atau memancing kemarahannya, lantaran dia tahu bahwa sang ayah sangat penyabar dan suka memaafkan kesalahannya? Lantas bagaimana jika perilaku seperti itu dilakukan terhadap Allah azza wa jalla?
0 komentar:
Posting Komentar