Beberapa waktu lalu saya menghadiri ceramah Karen Armstrong, sarjana Inggris yang dikenal sangat simpatik terhadap Islam. Armstrong berbicara tentang tantangan agama pada abad ke-21. Tapi, dalam hampir seluruh uraiannya, dia berbicara tentang Islam dan berbagai persoalan yang dihadapi agama ini. Ceramah yang dihadiri hampir 1.000 orang di ballroom sebuah hotel di Singapura itu sangat menawan. Terutama bagi kaum muslim yang merasa mendapat teman dan dukungan atas iman mereka.
Sejak peristiwa 9/11, pengarang Sejarah Tuhan itu menjadi juru bicara Islam yang sangat simpatik. Dia diundang berbagai forum untuk menjelaskan sisi lain Islam yang kerap diabaikan pengamat dan media massa. Umum diketahui, sejak 9/11 citra Islam sangat erat dengan terorisme dan kekerasan. Tugas Arsmtrong ialah menerangkan bahwa pengaitan Islam dengan terorisme itu keliru. Islam adalah agama damai yang tidak mengajarkan umatnya menggunakan kekerasan dalam berdakwah, apalagi terorisme.
Sejauh menyangkut kampanye perbaikan terhadap citra Islam, Armstrong tidak sendiri. Di dunia akademi Barat, ada nama lain seperti Montgomery Watt, Edward Said, John Esposito, dan Robert W. Hefner. Para sarjana nonmuslim itu melihat ketidakadilan dalam sirkulasi informasi di dunia selama ini, yakni berupa penyuguhan citra Islam yang buruk.
Berita seputar Islam yang dimuat media atau ditulis para sarjana, jika bukan tentang terorisme, pasti tentang tindak kekerasan. Islam seolah-olah identik dengan kekerasan.
Saya ingin menyebut sarjana Barat itu "Front Pembela Citra Islam (FPCI)". Bertolak belakang dari front lain yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan, FPCI benar-benar mengadopsi cara yang dianjurkan Alquran, yakni dengan ilmu pengetahuan (bil hikmah), pesan yang baik (mau'izah hasanan), dan argumen yang kukuh (wa jadilhum billati hiya ahsan). Hal itu mereka lakukan bukan hanya dalam forum-forum ilmiah, tetapi juga dalam karya-karya tulis.
Armstrong telah menulis sejumlah buku tentang Islam. Di antaranya Islam: A Short History dan Muhammad: A Biography of the Prophet, yang menguraikan tentang Islam dan Nabi Muhammad dengan sangat menawan. Lewat penelitian yang mendalam terhadap sejarah Islam, Armstrong berusaha menjelaskan sisi-sisi manusiawi Nabi tanpa kelihatan berapologi, tapi juga tidak menohok seperti yang biasa dilakukan beberapa Orientalis. Armstrong tidak menafikan bahwa ada banyak peperangan dalam sejarah Nabi. Tapi, itu tidak boleh dipisahkan dari dinamika kehidupan yang dijalani Nabi.
Menurut Armstrong, seperti dalam the Battle for God, perang atas nama agama bukan unik pada Islam saja, tapi juga ada di semua agama. Fundamentalisme modern yang berpuncak pada aksi-aksi teror, baik dalam Yudaisme, Kristen, dan Islam, sesungguhnya merupakan ekspresi perlawanan terhadap dunia yang dianggap sekuler dan anti-Tuhan.
Modernitas yang mengandalkan rasionalitas dianggap berbahaya bagi agama yang bersandar pada iman. Kaum beragama yang terus-menerus merasa terancam akan menyerang balik (backlash) terhadap simbol-simbol modernitas, termasuk gedung komersial, stasiun kereta api, dan kafe-kafe.
Para sarjana nonmuslim itu tentu tidak sendirian. Kaum intelektual muslim di dunia Barat juga berusaha memperbaiki citra Islam yang selama ini dikotori para teroris dan kelompok-kelompok yang mengklaim sedang membela Islam (padahal sedang merusaknya). Para sarjana seperti almarhum Fazlur Rahman, Abdullahi Ahmed al-Naim, Khaled Abu el-Fadl, Moqtader Khan, dan dalam tingkat tertentu Irshad Manji, bisa dimasukkan ke daftar FPCI sejati.
Hanya, berbeda dengan para sarjana Barat nonmuslim, mereka tak hanya berhenti pada pembelaan, tapi juga mengoreksi perilaku kaum muslim dan beberapa doktrin Islam yang dianggap keliru. Fazlur Rahman, misalnya, sambil mengkritik orientalis tetap kritis terhadap beberapa perilaku kaum muslim yang dianggap salah dalam memahami Islam. Lebih jauh lagi, Rahman bahkan mengkritik beberapa doktrin Islam yang dianggap tidak lagi relevan dengan kehidupan modern.
Di Indonesia, saya melihat makin banyak gerakan Islam yang dipelopori generasi muda. Mereka datang dari latar belakang santri dan punya kapasitas keilmuwan Islam yang mumpuni. Gerakan itu berusaha mengonter orang-orang yang sering me(nyalah)gunakan Islam untuk kepentingan politik dan ideologis mereka. Lewat pemikiran, mereka berusaha memperbaiki citra Islam yang bopeng akibat perilaku para teroris dan pendukungnya.
Islam yang dihadirkan apa yang kerap disebut gerakan pembaruan atau gerakan Islam liberal itu adalah Islam yang damai, toleran, prodemokrasi, dan mendukung kebebasan sipil. Berbeda dengan Islam kaum teroris dan pendukungnya, kaum muslim liberal meyakini bahwa ajaran-ajaran Islam cocok dengan tantangan dunia modern, bisa berinteraksi dengan Barat, dan mampu bekerja sama dengan dunia internasional.
Tak ada cara lain untuk memperbaiki citra Islam kecuali lewat pengembangan wacana yang didukung kelompok-kelompok Islam liberal, baik di Muhammadiyah, NU, maupun organisasi-organisasi yang lain. Tema-tema pluralisme, liberalisme, hak-hak perempuan, dan kebebasan sipil dapat membantu perbaikan citra Islam yang selama ini terkait erat dengan kekerasan, bom bunuh diri, penculikan, dan perusakan kafe.
Sudah saatnya kaum muslim memperbaiki citra Islam dengan mengubur dalam-dalam wacana primitif yang dikembagkan para teroris dan pendukungnya. (luthfi assyaukanie) dari Jawa Pos, 20 Juli 2007
Minggu, 23 Mei 2010
0 komentar:
Posting Komentar