Mengaku Keturunan Rasul…


Dikalangan kaum muslimin, khususnya di negeri kita ini sering kita mendengar bahwa ada seorang tokoh yang merupakan keturunan Nabi. Dan dipanggil lah tokoh tersebut dengan sebutan Habib. Bahkan gelar ini mereka buktikan dengan skema nasab yang mereka miliki yang bertemu dengan nasab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, atau dibuktikan dengan semacam ijazah atau sertifikat. Ironisnya, gelar nasab ini seolah-olah menjadi kartu truf yang akhirnya menjadi dalil halalnya segala perbuatan yang mereka lakukan, baik perbuatan yang telah jelas merupakan kemaksiatan, perbuatan bid’ah dalam agama, bahkan sampai kesyirikan. Lalu bagaimanakah sebenarnya sikap Ahlussunnah terhadap tokoh keturunan Nabi atau yang disebut dengan golongan Ahlul Bait ? Berikut ini pembahasannya oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr hafizhahullah.[1]

AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH TERHADAP AHLUL BAIT SECARA GLOBAL

Akidah Ahlussunnah wal Jamaah adalah pertengahan antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri, antara berlebihan dan meremehkan dalam segala perkara akidah. Diantaranya adalah akidah mereka terhadap ahlu bait Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, mereka berloyalitas terhadap setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muththalib, dan juga kepada para istri Rasul shallallahu’alaihi wa sallam semuanya. Ahlus Sunnah mencintai mereka semua, memuji dan memposisikan mereka sesuai dengan kedudukan mereka secara adil dan objektif, bukan dengan hawa nafsu atau serampangan. Mereka mengakui keutamaan orang-orang yang telah Allah beri kemulian iman dan kemuliaan nasab. Barangsiapa yang termasuk dari ahlul bait dari kalangan sahabat Rasulullah, maka mereka (Ahlussunnah) mencintainya karena keimanan, ketaqwaan serta persahabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam.

Adapun mereka (ahlul bait) selain dari kalangan sahabat, maka mereka mencintainya karena keimanan. Ketaqwaan, dan karena kekerabatannya dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Mereka berpendapat bahwa kemuliaan nasab itu mengikut kepada kemuliaan iman. Barangsiapa yang diberi oleh Allah kedua hal tersebut, maka Dia telah menggabungkan antara dua kebaikan. Dan barangsiapa yang tidak diberi taufik untuk beriman, maka tidak bermanfaat sedikitpun kemuliaan nasabnya. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu”. (QS. Al-Hujurat: 13)

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam akhir hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, No. 2699 dari Abu Hurairoh radliyallahu’anhu:
و من بطأ به عمله لم يسرع به نسبه

“Barangsiapa yang diperlambat oleh amal perbuatannya maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya”

Al Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata seraya menjelaskan hadits di atas dalam kitab beliau Jami’ al ‘Ulum wa al-Hikam, hlm. 308: Maknanya, bahwa amal perbuatan itulah yang menjadikan seorang hamba sampai kepada derajat (yang tinggi) di akhirat, sebagaimana firman Allah:
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِّمَّا عَمِلُوا وَمَارَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya” (QS. Al-An’am: 132)

Barangsiapa yang lambat amal ibadahnya untuk sampai kepada kedudukan yang tinggi disisi Allah, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya, untuk menyampaikannya kepada derajat tersebut. Sesungguhnya Allah menyediakan pahala sesuai dengan amal perbuatan bukan karena nasab, sebagaimana firman Allah:
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلآ أَنسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَيَتَسَآءَلُونَ

“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya”. (QS. Al-Mukminun: 101)

Dan Allah ta’ala telah memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan dan rahmat-Nya dengan berbuat amal ibadah, sebagaimana firman-Nya:
}* وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ { 133} الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {134}

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Ali ‘Imron: 133-134)

Dan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ هُم مِّنْ خَشْيَةِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ {57} وَالَّذِينَ هُم بِئَايَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ {58} وَالَّذِينَ هُم بِرَبِّهِمْ لاَيُشْرِكُونَ {59} وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ {60} أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ {61}

“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun: 57-61)

Kemudian beliau (Imam Ibnu Rajab rahimahullah) menyebutkan dalil-dalil tentang anjuran untuk beramal shalih, dan bahwasanya hubungan dekat dengan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam itu diperoleh dengan ketakwaan dan amal shalih. Lalu beliau menutup pembahasan tersebut dengan hadits ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’ahu yang tercantum dalam Shahih Bukhori, No. 5990 dan Shahih Muslim, No. 215, beliau berkata: Yang menguatkan hal ini semua adalah apa yang tercantum dalam Shahih Bukhori dan Muslim dari ‘Amr bin al-‘Ash radliyallahu’anhu, bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya keluarga Abu Fulan bukan termasuk wali-wali (orang terdekat) ku. Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang-orang yang shalih dari orang-orang yang beriman”.

Ini mengisyaratkan bahwa kedekatan dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa diraih dengan nasab, meskipun dia adalah kerabat beliau. Akan tetapi, semuanya itu diraih dengan iman dan amal shalih[2]. Barangsiapa yang lebih sempurna keimanannya dan amal shalihnya, maka dia lebih agung kedekatannya dengan beliau, baik dia punya kekerabatan dengan beliau atau tidak. Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh seorang penyair:

Sungguh, tidaklah manusia itu (dimuliakan) melainkan dengan agamanya

Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan, dan hanya bersandar kepada nasab

Sungguh, Islam telah mengangkat derajat Salman (al-Farisi) dari Persia

Dan kesyirikan menghinakan Abu Lahab yang memiliki nasab (yang tinggi).

Hal ini berlainan dengan ahli bid’ah, mereka berlebihan terhadap sebagian ahlul bait. Bersmaaan itu pula mereka berbuat kasar/jahat terhadap mayoritas para sahabat radliyallahu’anhum. Diantara contoh sikap berlebihan mereka terhadap 12 imam ahlul bait, yakni Ali, Hasan, Husain radliyallahu’anhum, dan 9 keturunan Husain adalah apa yang tercantum dalam kitab al-Kafi oleh al-Kulaini [3]…Bab: Bahwasanya Para Imam Tersebut Mengetahui Kapan Mereka Akan Mati dan Tidaklah Mereka Mati Melainkan Dengan Pilihan Mereka Sendiri, Bab: Bahwasanya Imam-Imam ‘alaihimussalam Mengetahui Apa Yang Telah Terjadi dan Apa yang Akan Terjadi, dan Tidak Ada Sesuatupun yang Tersembunyi Bagi Mereka.

Dan sikap berlebihan inipun dikatakan oleh tokoh kontemporer mereka, yaitu Khumaini dalam kitabnya al-Hukumah al-Islamiyah (hlm. 52 cetakan al-Maktabah al-Islamiyah al-Kubra, Teheran): Sesungguhnya diantara prinsip madzhab kita, bahwasanya imam-imam kita memiliki kedudukan yang tidak bisa digapai oleh malaikat yang dekat (dengan Allah) maupun Nabi yang diutus (oleh Allah).

HARAMNYA MENGAKU-NGAKU SEBAGAI KETURUNAN AHLUL BAIT

Semulia-mulia nasab adalah nasab Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Dan semulia-mulia penisbatan adalah kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam dan kepada Ahli Bait, jika penisbatan itu benar. Dan telah banyak di kalangan arab maupun non arab penisbatan kepada nasab ini. Maka barangsiapa yang termasuk ahlul bait dan dia adalah orang yang beriman, maka Allah telah menggabungkan antara kemuliaan iman dan nasab. Barangsiapa mengaku-ngaku termasuk dari nasab yang mulia ini, sedangkan ia bukan darinya, maka dia telah berbuat suatu yang diharamkan, dan dia telah mengaku-ngaku memiliki sesuatu yang bukan miliknya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Orang yang mengaku-ngaku dengan sesuatu yang tidak dia miliki maka dia seperti pemakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, no. 2129 dari Hadits Aisyah radliyallahu’anha)

Disebutkan dalam hadits-hadits shahih tentang keharaman seseorang menisbatkan dirinya kepada selain nasabnya. Diantara hadits Abu Dzar radliyallahu’anhu, bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Tidaklah seseorang menisbatkan kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui melainkan dia telah kufur kepada Allah. Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku sebagai suatu kaum dan dia tidak ada hubungan nasab dengan mereka, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.[4] (HR. al-Bukhori, No. 3508 dan Muslim, No. 112)

Dan dalam Shahih al-Bukhori, No. 3509 dari hadits Watsilah bin al-Asqa’zia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Seungguhnya sebesar-besar kedustaan adalah penisbatan diri seseorang kepada selain ayahnya atau mengaku bermimpi sesuatu yang tidak dia lihat, atau dia berkata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan”.[5]
[1] Diterjemahkan dan disarikan dari kitab Fadhl Ahli al-Bait wa ‘Uluww Makaanatihim ‘Inda Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah oleh Abdurrahman bin Thayyib as-Salafi. Sumber: Majalah Adz-Dzakiroh Vol. 8 No. 1 Edisi 43 Ramadhan-Syawal 1429 H. Kami hanya mengambil dua poin pembahasan dari tiga yang dibahas di sumber tersebut.

[2] Jadi, mereka yang mengaku sebagai keturunan Rasul shallallahu’alaihi wa sallam tapi gemar berbuat kesyirikan, mengkultuskan kuburan-kuburan wali yang tekah mati, mengadukan shalawat-shalawat bid’ah plus syirik (Burdah, Nariyah, Diba’, dll), rajin berbuat bid’ah (perayaan maulid, haul, tahlilan), maka tidak bermanfaat pengakuan tersebut dan tidak perlu dihormati ataupun disegani, pen.

[3] Tokoh ulama Syi’ah yang binasa pada tahun 329 H, yang dianggap seperti imam Bukhorinya Ahlussunnah, pen.

[4] Maka berhati-hatilah mereka yang memakan harta kaum muslimin dengan cara batil dengan mengaku-ngaku sebagai keturunan rasul shallallahu’alaihi wa sallam dan menjual akidah serta agama mereka. Na’udzubillahi mindzalik. pen

[5] Diringkaskan dari halaman 84-95

Sumber: http://maramissetiawan.wordpress.com

0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.