Dr. Muhammad Bin Hasan Asy-Syarif, menjelasakan dalam Al-Ibadat al-Qabiyah tentang tingkatan-tingkatan dalam bertawakkal. Beliu menjelaskan bahwa tawakkal memiliki tingkatan-tingkatan menurut kadar keimanan, tekad dan cita orang yang bertawakkal tersebut. Beberapa hal di bawah ini yang merupakan tingkatan tawakal:
1. Mengenal Allah (ma’rifatullah) dengan segala atributnya. Ini merupakan tangga pertama yang padanya seorang hamba meletakkan telapak kakinya dalam bertawakkal.
2. Menetapkan sebab dan akibat. Sebab-sebab adalah perkara yang di tundukkan Allah buat kita untuk mencapainya di alam semesta.
3. Mengokohkan hati pada pijakan tauhid tawakal (mengesakan Allah dalam bertawakkal)
4. Bersandarnya hati dan ketergantungannya serta ketentramannya kepada Allah. Tanda-tanda telah mencapainya tingkatan ini ialah ia tidak peduli dengan datang atau perginya kehidupan duniawi dan hatinya tidak bergetar atau berdebar saat meninggalkan apa yang di cintainya. Karena ketergantungan kepada Allah telah membentengi dirinya dari rasa takut dan berharap pada kehidupan duniawi
5. Baik sangka kepada Allah. Sejauh mana kadar sangka baiknya dan pengharapannya kepada Allah, maka sejauh itu pula kadar ketawakkalannya kepada-Nya.
6. Menyerahkan hati kepada-Nya, membawa seluruh pengaduannya kepada-Nyadan tidak menentangnya. Jika seorang hamba bertawakal dengan cara seperti ini, maka tawakal itu akan mewariskan kepadanya suatu pengetahuan bahwa ia tidak memiliki kemampuan sebelum melakukan usaha, dan ia kembali dalam keadaan tidak aman dari makar Allah.
7. Melimpahkan wewenang (perkara) kepada Allah (tafwidh). Ini adalah ruh dan hakekat tawakkal, yaitu melimpahkan seluruh urusannya kepada Allah dengan kesadaran, bukan dalam keadaan terpaksa. Orang yang melimpahkan urusan kepada Allah, tidak lain karena ia berkeinginan agar Allah memutuskan apa yang terbaik baginya dalam kehidupannya maupun sesudah matinya kelak. Jika apa yang di putuskan untuknya berbeda dengan apa yang di sangkanya sebagai yang terbaik, maka ia tetap ridha kepada-Nya. Kerena ia tahu bahwa itu lebih baik baginya, meskipun segi kemaslahatannya
tidak tampak di hadapannya.
Tawakal dan Usaha
Di antara yang menunjukan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang di riwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Iman Al-Hakim dari Ja’far bin Umaiyah dari ayahnya, ia berkata:“Seorang berkata kepada Nabi saw, Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakal?. Nabi Bersabda: Ikatlah, kemudian bertawakalah” Dalam hadist lain di sebutkan: “ Amir bin Umaiyah ra berkata: “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu (tungganganku) lalu aku bertawakal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakal?’. Beliau menjawab:, “Ikatlah kendaraan (unta)mu lalu bertawakallah.
Imam Hakim mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Rasulullah telah menegaskan:
“Orang yang bertawakkal adalah orang yang menebar benih di ladang, kemudian berserah diri kepada Allah”. Artinya ,bertawakal adalah harus di sertai dengan ikhtiar. Sebab tawakal tanpa ikhtiar adalah kemalasan terselubung. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang selalu bertawakal hanya kepada-Nya .
0 komentar:
Posting Komentar