Siapa Sebenarnya Pembangkit Radikalisme dan Terorisme Modern di Tengah Umat Islam?
oleh Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA
Dunia internasional secara umum dan negeri-negeri Islam secara khusus, telah digegerkan oleh ulah segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang kebenaran. Dahulu, banyak umat Islam yang merasa simpatik dengan ulah mereka, karena sasaran mereka adalah orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi di gedung WTC pada 11 September 2001. Akan tetapi, suatu hal yang sangat mengejutkan, ternyata sasaran pengeboman dan serangan tidak berhenti sampai disitu. Sasaran terus berkembang, sampai akhirnya umat Islam pun tidak luput darinya. Kasus yang paling aktual ialah yang menimpa Pangeran Muhammad bin Nayif Alus Sa'ud, Wakil Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia.
Dahulu, banyak kalangan yang menuduh bahwa pemerintah Saudi berada di belakang gerakan tidak manusiawi ini. Mereka menuduh bahwa paham yang diajarkan di Saudi Arabia telah memotivasi para pemuda Islam untuk bersikap bengis seperti ini. Akan tetapi, yang mengherankan, tudingan ini masih juga diarahkan ke Saudi, walaupun telah terbukti bahwa pemerintah Saudi termasuk yang paling sering menjadi korbannya?
Melalui tulisan ini, saya mengajak saudara sekalian untuk menelusuri akar permasalahan sikap ekstrim dan bengis yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini. Benarkah ideologi ini bermuara dari Saudi Arabia?
Harian “Ashsharqul-Ausat” edisi 8407 tanggal 4/12/2001M – 19/9/1422H menukil catatan harian Dr. Aiman al-Zhawahiri, tangan kanan Usamah bin Ladin. Di antara catatan harian Dr. Aiman al-Zhawahiri yang dinukil oleh harian tersebut ialah:
“Sesungguhnya Sayyid Quthub dalam kitabnya yang bak bom waktu “Ma'alim fi Ath-Thariq” meletakkan undang-undang pengkafiran dan jihad. Gagasan-gagasan Sayyid Quthublah yang selama ini menjadi sumber bangkitnya pemikiran radikal. Sebagaimana kitab beliau yang berjudul “Al-'Adalah Al-Ijtima'iyah fil Islam” merupakan hasil pemikiran logis paling penting bagi lahirnya arus gerakan radikal. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub merupakan percikan api pertama bagi berkobarnya revolusi yang ia sebut sebagai revolusi Islam melawan orang-orang yang disebutnya musuh-musuh Islam, baik di dalam atau di luar negeri. Suatu perlawanan berdarah yang dari hari ke hari terus berkembang.”
Pengakuan Dr. Aiman al-Zhawahiri ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz al-Sa'ud. Pangeran Nayif menyatakan kepada Harian “As-Siyasah al-Kuwaitiyah” pada tanggal 27 November 2002 M: “Tanpa ada keraguan sedikit pun, aku katakan bahwa sesungguhnya seluruh permasalahan dan gejolak yang terjadi di negeri kita [Saudi Arabia] bermula dari organisasi Ikhwanul Muslimin. Sungguh, kami telah banyak bersabar menghadapi mereka walaupun sebenarnya bukan hanya kami yang telah banyak bersabar. Sesungguhnya mereka itulah penyebab berbagai masalah yang terjadi di dunia arab secara khusus dan bahkan meluas hingga ke seluruh dunia Islam. Organisasi Ikhwanul Muslimin sungguh telah menghancurkan seluruh negeri Arab.”
Lebih lanjut Pangeran Nayif menambahkan: “Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwanul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir, -pen), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan saya pun menerima mereka. Dengan demikian, -berkat karunia Allah 'Azza wa Jalla – mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan, dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwanul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kami pun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”
Dan kepada harian Kuwait “Arab Times” pada hari Rabu, 18 Desember 2002 M, kembali Pangeran Nayif berkata: “Sesungguhnya mereka (Ikhwanul Muslimin) mempolitisasi agama Islam guna mencapai kepentingan pribadi mereka.”
Sekedar membuktikan akan kebenaran dari pengakuan Dr. Aiman al-Zhawahiri di atas, berikut saya nukilkan dua ucapan Sayyid Quthub:
NUKILAN 1 :
[Sayyid Quthub berkata:] “Saya menyeru agar kita memulai kembali kehidupan yang islami di satu tatanan masyarakat yang islami. Satu masyarakat yang tunduk kepada akidah Islam, dan tashawur (pola pikir) yang islami pula. Sebagaimana masyarakat itu patuh kepada syari'at dan undang-undang yang Islami. Saya menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan semacam ini telah tiada sejak jauh-jauh hari di seluruh belahan bumi. Bahkan agama Islam sendiri juga telah tiada sejak jauh-jauh hari pula.” (Al-'Adalah al-Ijtima'iyah 182).
NUKILAN 2 :
[Sayyid Quthub berkata:] “Dan bila sekarang kita mengamati seluruh belahan bumi berdasarkan penjelasan ilahi tentang pemahaman agama dan Islam ini, niscaya kita tidak temukan eksistensi dari agama ini.” (al-'Adalah al-Ijtima'iyah hlm.183)
Saudaraku! Sebagai seorang Muslim yang beriman, apa perasaan dan reaksi Anda setelah membaca ucapan ini?
Demikianlah, ideologi ekstrim yang diajarkan oleh Sayyid Quthub melalui bukunya yang oleh Dr. Aiman al-Zhawahiri disebut sebagai “Dinamit”. Pengkafiran seluruh lapisan masyarakat yang tidak bergabung ke dalam barisannya.
Mungkin karena belum merasa cukup dengan mengkafirkan masyarakat secara umum, Sayyid Quthub dalam bukunya “Fi Zhilalil Qur'an” ketika menafsirkan surat Yunus ayat 87, ia menyebut masjid-masjid yang ada di masyarakat sebagai “tempat peribadahan Jahiliyah”. Sayyid Quthub berkata: “Bila umat Islam ditindas di suatu negeri, maka hendaknya mereka meninggalkan tempat-tempat peribadahan jahiliyah. Dan menjadikan rumah-rumah anggota kelompok yang tetap berpegang teguh dengan keislamannya sebagai masjid. Di dalamnya mereka dapat menjauhkan diri dari masyarakat jahiliyah. Di sana mereka juga menjalankan peribadahan kepada Rabbnya dengan cara-cara yang benar. Di waktu yang sama, dengan mengamalkan ibadah tersebut, mereka berlatih menjalankan semacam tanzhim dalam nuansa ibadah yang suci.”
Yang dimaksud “ma'abid jahiliyah” (tempat-tempat ibadah jahiliyah) adalah masjid-masjid kaum Muslimin yang ada. Bisa bayangkan! Para pemuda, yang biasanya memiliki idealisme tinggi dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin semacam ini, kira-kira apa yang akan mereka lakukan? Benar-benar Sayyid Quthub menanamkan ideologi teror pada akal pikiran para pengikutnya.
Dan sudah barang tentu, ia tidak berhenti pada penanaman ideologi semata. Ia juga melanjutkan doktrin terornya dalam wujud yang lebih nyata. Simaklah, bagaimana ia mencontohkan aplikasi nyata dari ideologi yang ia ajarkan:
[Sayyid Quthub berkata:] “Menimbang berbagai faktor ini secara komprehensif, saya memikirkan suatu rencana dan cara untuk membalas perbuatan musuh. Aku pernah katakan kepada para anggota jama'ah: 'Hendaknya mereka memikirkan suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan bahwa mereka pulalah yang akan menjadi eksekutornya. Tentunya cara itu disesuaikan dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara apa yang tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya....Tindakan kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota organisasi Ikhwanul Muslimin. Kita membalas dengan menyingkirkan pimpinan-pimpinan mereka, terutama presiden, perdana menteri, ketua dewan pertimbangan agung, kepala intelijen, dan kepala kepolisian. Balasan juga dapat dilanjutkan dengan meledakkan berbagai infrastruktur yang dapat melumpuhkan transportasi kota Kairo. Semua itu bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anggota Ikhwanul Muslimin di dalam dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat diarahkan ke pusat pembangkit listrik dan jembatan layang.” (Limadza Addamuni oleh Sayyid Quthub hlm:55)
Pemaparan singkat ini menyingkap dengan jelas akar dan sumber pemikiran ekstrim yang melekat pada jiwa sebagian umat Islam di zaman ini.
Hanya saja, perlu diketahui bahwa menurut beberapa pengamat, gerakan Ikhwanul Muslimin dalam upaya merealisasikan impian besarnya, telah terpecah menjadi tiga aliran:
1. Aliran Hasan al-Banna
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa peduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:
“Kita bersatu dalam hal yang sama, dan saling toleransi dalam setiap perbedaan antara kita.”
Tidak mengherankan bila para penganut [aliran] ini siap bekerjasama dengan siapa saja, bahkan dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip agama bagi mereka sering kali hanya sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya diterima oleh masyarakat luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental ketimbang agamis pada kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam perkumpulan dan pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan tanzhim sering menjadi tema utama pembahasan.
2. Aliran Sayyid Quthub
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwanul Muslimin, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwanul Muslimin. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwanul Muslimin terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya, Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai “tempat peribadatan jahiliyyah”.
Dan selanjutnya, tatkala pergerakannya mendapatkan reaksi keras dari penguasa Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdun Nashir, ia pun menyeru pengikutnya untuk mengadakan perlawanan dan pembalasan, sebagaimana diutarakan di atas.
3. Aliran Muhammad Surur Zaenal Abidin
Setelah pergerakan Ikhwanul Muslimin mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu Kerajaan Saudi sedabg kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, [saat itu] keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di sana.
Di sisi lain, Pemerintah Mesir, Suria, dan lainnya mereka terbebaskan dari banyak pekerjaannya. Mereka tidak berkeberatan dengan sikap Pemerintah Saudi Arabia yang memberikan tempat kepada para pelarian Ikhwanul Muslimin, sebagaimana ditegaskan oleh Pangeran Nayif bin Abdul Aziz di atas.
Selama tinggal di Kerajaan Saudi Arabia inilah, beberapa tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin berusaha beradaptasi dengan paham yang diajarkan di sana. Sebagaimana kita ketahui, Ulama-Ulama Saudi Arabia adalah para penerus dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yang anti pati dengan segala bentuk kesyirikan dan bid'ah. Sehingga, selama mengembangkan pergerakannya, tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin turut menyuarakan hal yang sama. Hanya dengan cara inilah mereka bisa mendapatkan tempat di masyarakat setempat. Inilah faktor pembeda antara aliran ketiga dan aliran kedua, yaitu adanya sedikit perhatian terhadap tauhid dan sunnah. Walaupun pada tataran aplikasinya, masalah tauhid acap kali dikesampingkan dengan cara membuat istilah baru yang mereka sebut dengan tauhid hakimiyyah.
Istilah ini sebenarnya bukanlah baru, istilah ini tak lebih dari kamuflase para pengikut Sayyid Quthub untuk mengelabui pemuda-pemuda Saudi Arabia semata. Istilah ini mereka ambil dari doktrin Sayyid Quthub yang ia tuliskan dalam beberapa tulisannya. Berikut salah satu ucapannya yang menginspirasi mereka membuat istilah tauhid hakimiyyah ini:
[Sayyid Quthub berkata:] “Teori hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi selain Allah. Dan bila dengan persaksian ini telah ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak ditujukan kepada Allah semata, maka ditetapkan pula bahwa perundang-undangan dalam kehidupan umat manusia adalah hak Allah 'Azza wa Jalla semata. Dari satu sisi, hanya Allah Yang Maha Suci, yang mengatur kehidupan umat manusia dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain, Allah 'Azza wa Jalla jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak, kewajiban dan hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari'at dan ajaran-ajaran-Nya.... Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan untuk membuat undang-undang, syari'at, dan peraturan pemerintahan menurut gagasan diri sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat uluhiyyah Allah 'Azza wa Jalla dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat uluhiyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan kafir.” (Al 'Adalah al-Ijtima'iyah hlm.80)
Ketika menafsirkan ayat 19 surat al-An'am, Sayyid Quthub lebih ekstrim dengan mengatakan: “Sungguh, sejarah telah terulang, sebagaimana yang terjadi pada saat pertama kali agama Islam menyeru umat manusia kepada 'la ilaha illallah'. Sungguh, saat ini umat manusia telah kembali menyembah sesama manusia, mengalami penindasan dari para pemuka agama, dan berpaling dari 'la ilaha illallah'. Walaupun sebagian dari mereka masih tetap mengulang-ulang ucapan 'la ilaha illallah', akan tetapi tanpa memahami kandungannya. Ketika mereka mengulang-ulang syahadat itu, mereka tidak memaksudkan kandungannya. Mereka tidak menentang penyematan sebagian manusia sifat 'al-hakimiyah' pada dirinya. Padahal 'al-hakimiyah' adalah sinonim dengan 'al-uluhiyah'.”
Yang dimaksud oleh Sayyid Quthub dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para muadzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para muadzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan selain mereka? Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para muadzin yang menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di masyarakat, maka kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri Anda yang bukan muadzin?
Kedudukan al-hakimiyyah; kewenangan untuk meletakkan syari'at dalam Islam, sebenarnya tidaklah seperti yang digambarkan oleh Sayyid Quthub sampai menyamai kedudukan uluhiyyah. Al-Hakimiyah hanyalah bagian dari rububiyyah Allah 'Azza wa Jalla. Karenanya setelah mengisahkan tentang penciptaan langit, bumi serta pergantian siang dan malam, Allah 'Azza wa Jalla berfirman [yang artinya] : “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut .Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A'raf/7 : 54-55)
Pada ayat 54, Allah 'Azza wa Jalla menegaskan bahwa mencipta dan memerintah yang merupakan kesatuan dari rububiyah adalah hak Allah 'Azza wa Jalla. Pada ayat selanjutnya Allah 'Azza wa Jalla memerintahkan agar kita mengesakan-Nya dengan peribadatan yang diwujudkan dengan berdoa dengan rendah diri dan suara yang halus. Dengan demikian, tidak tepat bila al-hakimiyah disejajarkan dengan uluhiyah. Apalagi sampai dikesankan bahwa al-hakimiyah di zaman sekarang lebih penting dibanding al-uluhiyah.
Ucapan Sayyid Quthub semacam inilah yang mendasari para pengikutnya untuk lebih banyak mengurusi kekuasaan dan para penguasa dibanding urusan dakwah menuju tauhid dan upaya memerangi kesyirikan yang banyak terjadi di masyarakat. Karenanya, diantara upaya Kerajaan Saudi Arabia dalam menanggulangi ideologi sesat ini ialah dengan berupaya membersihkan pemikiran masyarakatnya dari doktrin-doktrin Sayyid Quthub yang terlanjur meracuni pemikiran sebagian mereka. Di antara terobosan yang menurut saya cukup bagus dan layak ditiru ialah:
1. Menarik kitab-kitab yang mengajarkan ideologi ekstrim dari perpustakaan sekolah. Di antara kitab-kitab yang ditarik ialah kitab: Sayyid Quthub al-Muftara'alaih dan kitab al-Jihad fi Sabilillah.
2. Membentuk badan rehabilitasi yang beranggotakan para Ulama' guna meluruskan pemahaman dan menetralisasi doktrin ekstrim yang terlanjur meracuni akal para pemuda. Terobosan kedua ini terbukti sangat efektif, dan berhasil menyadarkan ratusan pemuda yang telah teracuni oleh pemikiran ekstrim, sehingga mereka pembali menjadi anggota masyarakat yang sewajarnya.
Mengakhiri pemaparan ringkas ini, ada baiknya bila saya mengetengahkan pernyataan Pangeran Sa'ud al-Faisal, Menteri Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia, pada pertemuan U.S-Saudi Arabian Business Council (USSABC) yang berlangsung di kota New York, pada tanggal 26 April 2004. Pangeran Sa'ud berkata: “Menanggapi tuduhan-tuduhan ini, sudah sepantasnya bila Anda mencermati fenomena jaringan al-Qaedah bersama pemimpinnya Bin Laden. Walaupun ia terlahir di Saudi Arabia, akan tetapi ia mendapatkan ideologi dan pola pikirnya di Afganistan. Semuanya berkata pengaruh dari kelompok sempalan gerakan Ikhwanul Muslimin. Saya yakin, hadirin semua telah mengenal gerakan ini. Fakta ini membuktikan bahwa Saudi Arabia dan seluruh masjid-masjidnya terbebas dari tuduhan sebagai sarang ideologi tersebut.
Dan kalaupun ada pihak yang tetap beranggapan bahwa Saudi Arabia bertanggungjawab atas kesalahan yang telah terjadi, maka sudah sepantasnya Amerika Serikat juga turut bertanggungjawab atas kesalahan yang sama. Dahulu kita bersama-sama mendukung perjuangan mujahidin dalam membebaskan Afganistan dari penjajahan Uni Soviet. Dan setelah Afganistan merdeka, kita membiarkan beberapa figur tetap bebas berkeliaran, sehingga mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak jelas. Kita semua masih mengingat, bagaimana para mujahidin disambut dengan penuh hormat di Gedung Putih. Bahkan tokoh fiktif Rambo dikisahkan turut serta berjuang bersama-sama dengan para mujahidin.” (Sumber situs resmi Kementerian Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia: http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InNewsItemID=39825)
Semoga pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru bagi kita dalam menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan ekstrim yang berkembang di tengah masyarakat kita.
[Setelah membaca artikel yang sangat bagus ini,
Sedikit nasihat untuk saudara-saudaraku….ketahuilah kenyataan yang ada bahwa tidak ada kebaikan sama sekali mengidolakan, meneladani, dan mengikuti tulisan-tulisan dan pemahaman-pemahaman tokoh-tokoh aliran Ikhwanul Muslimin dan turunan-turunannya, seperti dan tidak terbatas pada: Sayyid Quthub, Hasan al-Banna, Aidh al-Qarni, Muhammad Surur, Salman al-Audah, di Indonesia seperti kelompok Partai Keadilan Sejahtera, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim (KAMMI), majalah Sabili dan lainnya. Ketahuilah untuk kita amalkan bahwa, apa saja kebaikan yang tertuang dalam tulisan-tulisan dan perbuatan-perbuatan mereka (Ikhwanul Muslimin dan anggota-anggotanya) semata-mata adalah selubung pembungkus kejelekan-kejelekan mereka yang sangat banyak. Untuk itu hindarilah aliran yang sesat dan menyesatkan ini untuk keselamatan saudara-saudara semua dan generasi-generasi Islam yang akan berasal dari saudara-saudara nanti. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua agar menjadi seorang muslim/muslimah yang beragama dengan cara yang benar sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya ridhwanallahi ajma’in.]
NB: yang dalam kurung [ ] adalah penjelas dari penyalin.
[As-Sunnah edisi 10 tahun XIII/Muharram 1431 [Januari 2010 M]]
0 komentar:
Posting Komentar