Heri Ruslan
Seseorang tak wajib berhaji jika sedang menanggung utang.
Ketika masih menjabat sebagai menteri agama, Maftuh Basyuni sempat mengeluhkan banyaknya ''tangan kotor'' di seputar pengurusan haji. Selain mengecam tindakan pungutan liar, Maftuh pun menyoroti tindakan bank penerima setoran ongkos naik haji yang dinilainya bertindak 'nakal'.
''Bank nakal ini memberi dana talangan bagi calon jamaah haji yang belum mampu dalam masalah dana atau keuangan. Padahal haji itu tidak perlu dipaksakan kalau belum mampu. Agama itu mudah sebetulnya,'' ungkap Maftuh. Salah satu syarat menunaikan ibadah haji adalah mampu.
Menurut Syekh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, yang dimaksud dengan mampu adalah memiliki bekal, ada kendaraan yang layak untuk untuk berhaji. Selain itu, mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk diri dan keluarganya hingga dia kembali haji. Lalu bolehkah berhaji dengan uang pinjaman?
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah telah menetapkan fatwa terkait masalah itu. Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, tak ada halangan bagi orang yang melakukan ibadah haji dengan harta pinjaman dari orang lain.
''Asal halal. Haji yang dilakukan dengan harta demikian kalau sesuai dengan agama, sah hukumnya, dan hajinya pun dapat saja mencapai haji mabrur,'' demikian bunyi fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Meski begitu, ada syarat atau catatan yang harus diperhatikan, yakni pinjaman atau utang untuk naik haji itu bukan takaluf.
Takaluf artinya mengada-ada secara tidak semestinya. Yakni, meminjam uang untuk naik haji kepada orang lain, namun tak memiliki sesuatu yang dapat dijadikan sumber untuk mengembalikan pinjaman itu. Sedangkan, bagi orang yang mempunyai harta (benda) dan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman utang, meminjam uang untuk berhaji tidak menjadi masalah.
''Misalnya, seseorang yang sudah berniat haji, tetapi pada saat pelunasan ONH, barang yang akan dijual untuk biaya haji belum laku. Kemudian ia pinjam atau berutang kepada saudara atau temannya. Sesudah pulang dari haji barang itu baru laku dan dikembalikan pinjaman tersebut,'' demikian bunyi fatwa itu. Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah, sebaiknya orang yang berangkat haji itu tak memiliki tanggungan apa-apa.
Fatwa yang sama juga telah ditetapkan para ulama NU dalam Muktamar ke-28 di Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta pada 25-28 November 1989. Dalam fatwanya, ulama NU bersepakat bahwa mengambil kredit tabungan dengan jaminan dan angsuran dari gaji untuk membiayai ibadah haji adalah sah. ''Hukum hajinya sah,'' demikian bunyi fatwa itu.
Sebagai dasar hukumnya, para ulama NU mengambil dalil dari al-Syarqawi, Juz I, halaman 460: ''Orang yang tidak mampu, maka ia tidak wajib haji, akan tetapi jika ia melaksanakannya, maka hajinya sah.''
Dalil lainnya yang digunakan sebagai dasar hukum adalah Nihayatul Muhtaj, Juz III, halaman 223: ''Sah haji orang fakir dan semua yang tidak mampu selama ia termasuk orang merdeka dan mukallaf (Muslim, berakal dan balig), sebagaimana sah orang sakit yang memaksakan diri untuk melaksanakan shalat Jumat.''
Pada Muktamar ke-28 NU, tim perumus Komisi I Masail Diniyah yang diketuai KH Agil Munawwar menetapkan kedudukan arisan haji yang jumlah setorannya berubah-ubah. Para ulama NU bersepakat pada dasarnya arisan dibenarkan. Sedangkan terkait arisan haji karena berubah-ubahnya ONH, terdapat perbedaan pendapat. ''Tentang hajinya tetap sah,'' demikian bunyi fatwa itu.
Dasar hukum yang digunakan sebagai rujukan adalah al-Qulyubi, juz II, halaman 258. ''Perkumpulan yang populer (misalnya arisan) di kalangan wanita, di mana masing-masing wanita tersebut mengeluarkan sejumlah uang dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka secara bergantian sampai giliran yang terakhir, maka yang demikian itu sah.''
Terkait menunaikan haji dengan uang pinjaman, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dalam Fatawa Nur 'alad Darb, jilid 1 hal 277, mengungkapkan, haji dengan uang dari utangan tidak merusak syahnya ibadah haji. Apalagi bila di balik utang itu ada tujuan yang mulia, yaitu menemani orangtua, atau wanita yang tidak memiliki mahram.
Seseorang, tutur Syekh al-Utsaimin, tidak wajib menunaikan ibadah haji jika ia sedang menanggung utang, tapi tidak menggugurkan syarat sahnya. Sebagian ulama, berpandangan; jangan berutang untuk menunaikan ibadah haji, karena ibadah haji dalam kondisi seperti itu hukumnya tidak wajib.
Dengan kemurahan rahmat Allah SWT, seseorang hendaknya tidak memaksakan diri dengan berutang, yang ia sendiri tidak tahu kapan dapat melunasinya, bahkan barangkali ia mati dan belum sempat menunaikan utangnya. Lalu jika begitu ia menanggung beban hutang selama-lamanya. Syekh al-Utsaimin membolehkan kredit di bank serta arisan haji.
Selasa, 09 Februari 2010
0 komentar:
Posting Komentar