Membina Kepribadian Islami, Menuju Masyarakat Madani[1]

(Sudut Pandang Dr. Abdul Halim Mahmud

dalam bukunya Minhaj al-Islâh al-Islâmi fi al-Mujtama’)

Prolog

Ketika wacana reformasi menjadi wacana yang hangat dalam komunitas kita (umat Islam), maka pandangan mayoritas kita akan tertuju ke Barat sebagai cermin kemajuan. Barat—sebagai peradaban baru yang mulai menghegemoni dunia sekitar 5-6 abad yang lalu—menjadi kiblat utama bagi umat Islam untuk mereformasi dan merekonstruksi bangunan peradaban yang dulu pernah jaya. Maka, metodologi dan wacana seputar reformasi yang beredar di Barat, menjadi isu dan kajian utama di kalangan umat Islam.

Padahal, kondisi sosial, ideologi, tradisi dan perbedaan titik tolak peradaban antara Islam-Barat bisa menjadi kendala dalam tataran “kontekstualisasi-aplikatif”nya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah: Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap peradaban baru (Barat) tersebut?[2]

Secara global, Abdul Halim Mahmud (selanjutnya disebut AHM) memaparkan tiga paradigma yang muncul. (1) Menerima bulat-bulat. (2) Menolak mentah-mentah. (3) Menerima “peradaban material”nya (al-Hadlârah al-Mâdiyah), mengambil yang baik dari budaya berpikir (al-Hadlârah al-Nâdzariyah) mereka. Bagi AHM, ketiga pendapat di atas mempunyai kelemahan yang tidak memungkinkan untuk dipakai atau diikuti. Untuk yang pertama, ia mengatakan hal tidak mungkin, karena banyak sekali elemen dan bagian dari peradaban Barat yang menyimpang dari dasar ajaran Islam (walaupun selanjutnya dia tidak mendiskripsikan bagian yang dimaksud). Resistensi terhadap pendapat kedua muncul, karena sampai saat ini tidak ada seorangpun, satu masyarakatpun, atau bahkan negara manapun, yang tidak berinteraksi dan mengambil faedah dari peradaban Barat. Untuk paradigma ketiga, ia mengajukan pertanyaan sekaligus meragukan: Apa yang dimaksud dengan ‘baik’, dan standar siapa yang dipakai dalam menentukan kebaikan tersebut? Menurutnya, standar kebaikan tidak akan sama bagi lain orang, selama kerangka berpikir yang dipakai adalah rasionalitas.

Maka, sebagai penawaran alternatif, AHM membagi peradaban Barat ke dalam dua sisi; material (al-Qism al-Mâdî) dan spiritual (al-Qism al-Rûhî). Yang dimaksud sisi material adalah semua produk peradaban Barat yang dihasilkan melalui metode induktif, dan alam semesta sebagai objek kajiannya.[3] Sisi ini bebas nilai dan merupakan kebenaran bersama. Tidak ada embel-embel ideologis di dalamnya. Sedangkan sisi spritual adalah wilayah teologi, moral dan syari’ah. Sisi inilah sebenarnya yang banyak membentuk identitas suatu komunitas masyarakat, memberi warna dan memperjelas kepribadiannya.

Bertolak dari paparan di atas, AHM mengajak kita untuk kembali kepada ajaran-ajaran Islam (al-‘Audah ila al-Islam), memahaminya secara mendasar dan mengamalkannya. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas identitas dan memperkokoh kepribadian muslim, hingga nantinya terbentuk sebuah masyarakat madani.

Penyerahan Diri

Kepribadian Islami adalah hasil sebuah proses, harus diperjuangkan, bukan fitrah yang hadir sejak lahir. Hal ini sangat erat kaitannya dengan sejauh mana seorang muslim memahami dam menyelami esensi ajaran Islam.

Menurut Ibnu al-Anbâri (328 H.), kata ‘muslim’ secara terminologi berarti “Orang yang ikhlas beribadah kepada Tuhan.”[4] Islam adalah agama universal, baik ditinjau dari struktur bahasa, ataupun substansi makna yang terkandung. Islam tidak merujuk pada orang tertentu, seperti halnya agama Budha; Tidak terfokus pada masyarakat tertentu, seperti agama Yahudi; tidak terkait dengan daerah tertentu, seperti adanya agama Nasrani (Kristen); tidak juga dibatasi oleh ruang dan waktu. Al-Qur’an berkata: “Dan Kami tidak mengutusmu, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam” (lihat juga Q.S al-Anbiyâ: 25, ali Imran: 67, Yunus: 72).

Kepasrahan diri kepada Allah ini, ketika tertanam dalam diri seorang muslim, maka berarti ajaran tauhid sudah mengkristal dalam jiwanya. Karena dalam keyakinan AHM, kepasrahan diri pada Allah, tauhid dan Islam adalah tiga terma yang saling terkait dan punya arti yang sama. Untuk lebih jelasnya simak beberapa ayat berikut:

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya, dari mereka yang menyerahkan dirinya kepada Allah semata” (al-Nisâ’: 125)

“Barang siapa yang Allah berkehendak untuk memberikan hidayah kepadanya, maka Allah akan melapangkan dadanya untuk Islam” (al-An‘âm: 125)

“Dan barang siapa menjadikan agama, selain Islam, maka tidak akan diterima (di sisi Allah), dan ia termasuk orang yang merugi di akhirat” (Ali Imran: 85)

Selanjutnya untuk memudahkan aplikasi dan realisasi praktek keislaman, AHM menjadikan Muhammad Saw. Sebagai tauladan dan cermin utama bagi masyarakat muslim. Ajaran, nilai dan identitas Islam dapat kita temukan dalam diri Muhammad. Aisyah r.a. berkata: “Akhlaqnya (Muhammad) adalah al-Qur’an.” Dan Allah berfirman: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada pada akhlaq yang mulia” (Q.S al-Qalam: 04).

Muhammad adalah stereotipe muslim integral, yang ‘shalatnya, ibadahnya, hidup dan matinya hanya untuk Allah semata’. Nah, untuk mencapai hal itu, apa yang seyogyanya menjadi landasan masyarakat muslim?

Dari Teori Menuju Aksi

Ada dua landasan untuk membentuk kepribadian Islami; ilmu dan ibadah. Keduanya saling berhubungan. Dengan kata lain, ilmu sebagai proses mencari kebenaran—yang banyak sekali kita temukan landasan teksnya dalan al-Qur’an—merupakan amal ibadah juga. Dan ibadah—sebagai tujuan utama terciptanya manusia (al-Dzariyât: 56)—tidak bisa lepas dari peran ilmu. Semakin tinggi ilmu seseorang, maka akan semakin kokoh ‘penghargaan’ dia kepada Tuhan. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, di antara hamba-hambaNya adalah mereka yang punya ilmu.”

Teks-teks al-Qur’an yang begitu kaya dengan anjuran, motivasi dan spirit untuk penerapan ilmu, menemukan realitasnya pada diri cendikiawan klasik yang memahami betul kandungan teks tersebut. Ini bisa kita lihat pada Ibnu Sina dengan ilmu kedokterannya, Ibnu Haitsam dengan meteorologinya, Al-Khuwarizmi dengan matematikanya, Ibnu Khaldun dengan sosiologinya, dan lain sebagainya. Hal ini juga diperkuat oleh kesadaran bahwa eksprimen keilmuan itu adalah beribadah.

Pada dataran selanjutnya, spirit ini ditranmisikan ke Eropa melalui peradaban Andalusia, sehingga melahirkan abad pencerahan (renaissance). Dahsyatnya, perkembangan begitu pesat terjadi, yang titik akhirnya adalah lahirnya industrialisasi, teknologi dan era baru sains di Eropa. Ironisnya, Islam yang mengaku sebagai “penyumbang saham” terhadap kemajuan tersebut, justru masih ‘berlari-lari di tempat’ dan tertinggal jauh di belakang.

Maka, perlu adanya re-kristalisasi ajaran dan nilai Islam dalam dinamika jiwa dan kehidupan bermasyarakat. Jika itu terjadi, akan muncul ‘fenomena baru’ dalam kepribadian mereka; jihad[5] dan kasih sayang (rahmat).

Jihad dalam Islam akan menemukan urgensinya, ketika kita sadari bahwa dakwah Islam adalah sebuah keharusan. Ajaran Islam itu universal, dan harus disebarluaskan. Amar ma’ruf nahi munkar hanya sekedar bagian kecil dari jihad, bukan segalanya. Jihad adalah media yang elastis dan felksibel, yang bisa dikondisikan sesuai dengan situasi sebuah masyarakat; bagi penguasa, jihad bisa berarti policy; bagi intelektual, jihad bisa diartikan mendidik; bagi kaum lemah, jihad bisa direalisasikan dalam bentuk ‘pengingkaran hati’; bagi kita, jihad bisa bermakna ‘belajar tanpa henti’.

Jika dalam pandangan beberapa kalangan (baik muslim maupun non-muslim) jihad lebih sering nampak dalam wajah kekerasan[6], ini bisa dikanter dengan sikap kasih sayang (rahmat), sehingga terjalin balance yang harmonis.

Kasih sayang adalah esensi sekaligus tujuan. Al-Qur’an berkata: “wamâ Arsalnâka illa Rahmatan li al-‘Alamîn” Dan Rasulullah bersabda: “Irhamû man fi al-Ardl, Yarhamkum man fi al-Samâ’” Seperti halnya jihad, rahmat bisa diapresiasikan dalam berbagai bentuk; dari Tuhan, rahmat bisa berupa ‘perhatian material’ kepada makhluqnya; dari seorang ibu, rahmat bisa berarti ‘belaian sepanjang hari’ bagi anaknya; dari tetangga ke tetangga, rahmat boleh jadi adalah menghargai dan saling menghormati; dll.

Epilog

Membangun masyarakat madani akan tercapai dengan dua dasar utama: Ilmu dan iman (ibadah). Mereformasi kepribadian muslim berarti menanamkan nilai-nilai Islam secara utuh dan integral dalam individu dan masyarakat. Jika ada kesadaran dan kemauan, insyaallah hal itu akan terwujud. “Katakanlah: “Inilah jalanku! Aku mengajak kepada Tuhan dengan sebenar-benarnya, aku dan orang yang mengikutiku. Maha suci Allah, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik” (Q.S Yusuf: 108)

Haiten/Kota kemenangan/Kairo



[1] Wacana tentang masyarakat madani, walaupun istilah 'resmi'nya bisa dibilang masih baru, tetapi konsepnya dapat dikatakan sudah lama. Cak Nur sering menyebut masyarakat Madinah di masa Nabi sebagai gambaran ideal masyarakat madani. Istilah ini mula-mula dimaksudkan sebagai pengganti istilah 'masyarakat sipil' yang merupakan padanan 'civil society' dalam bahasa Inggris.

Isu masyarakat madani adalah isu kelas menengah, yang merupakan akibat langsung daripada pertumbuhan pesat ekonomi kawasan Pasifik, khususnya juga di Indonesia, dalam dua dasawarsa menjelang "krismon". Maka, kelas menengah di Indonesia berkembang amat pesat. Dan inilah yang menimbulkan ketimpangan dalam struktur politik. Walaupun cara pemerintahan otoriter gaya Orde Baru kemarin itu turut memungkinkan pertumbuhan ekonomi itu, tetapi kemunculan kesadaran baru kelas menengah ini merupakan penentang paling kuat dari segala bentuk pemerintahan otoriter. (Waruno, 1999)

[2] Untuk menjawab pertanyaan tersebut, lihat “Globalisasi dan Peradaban Islam: Rancang Bangun Peradaban Islam” dan artikel lainnya tentang globalisasi dalam buku “Kontekstualisasi Islam dalam Peradaban” cet. I, FOSGAMA:2002.

[3] Di sini, AHM mengembalikan segala bentuk kemajuan Barat kepada jasa para cendikiawan muslim masa lalu, seperti Al-Farabi, Ibnu Ruyd, Ibnu sina, Ibnu Haitsam, Al-Kindi dan lain-lain, serta mengatakan bahwa semua itu adalah “hutang budaya” bagi peradaban Barat.

[4] Sekilas ada kesamaan dengan teologi inklusif Cak Nur. Tapi, bila kita lacak lebih jauh, ujung-ujungnya jauh sekali berbeda. Karena Cak Nur memakai pendekatan universal-inklusif, sedangkan pendekatan di sini lebih esklusif dan tekstual. Dalam teologi Cak Nur, semua agama mempunyai sisi kebenaran masing-masing, selama masih bertitik tolak pada ‘penyerahan diri pada Tuhan’. Teologi eksklusif menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama menjadi monopoli agama tertentu. Karena itu, dalam perspektif "teologi inklusif," klaim bahwa hanya agamanya saja yang benar dan menjadi jalan keselamatan, adalah teologi yang salah. (simak buku “Teologi Inklusif Cak Nur”nya Sukidi, Kompas:2000)

[5] Makna jihad mempunyai spektrumnya luas, yaitu langkah-langkah strategis untuk merealisasikan cita-cita agama yang tidak lain adalah menciptakan dunia yang damai. (Din Syamsudin, 2001). Terdapat banyak kekeliruan di kalangan umat Islam tentang pengertian jihad. Kekeliruan pertama ialah tentang makna jihad itu sendiri yang sering dimengertikan sebagai peperangan mengangkat senjata yang membawa kepada pertumpahan darah dan pembunuhan. Yang kedua ialah tentang golongan yang menjadi sasaran jihad atau golongan yang harus diperangi itu.

Akhirnya, terminologi jihad ini mengalami penyempitan makna menjadi perang saja. Padahal, dikenal juga apa yang disebut jihad pada diri sendiri dalam tradisi sufi, atau mujahadah (olah jiwa), dalam tradisi intelektual: ijtihad (olah otak), dan dalam perang: jihad (olah fisik). Namun jika kita kembalikan jihad pada makna aslinya maka tiga pemahaman di atas tercakup pada kata jihad saja. Jadi, jihad tidak selalu identik dengan bentuk fisik (materi), namun juga mencakup perjuangan intelektual, emosional dan spiritual. (Guntur Romli, 2002)

[6] Ini terjadi karena beberapa fenomena di sekitar kita, seperti FPI (dengan aksi sweepingnya), Afghanista dengan gerakan Talibannya, dan Palestina dengan perlawanan Hamasnya.

Sumber : http://dicky_funny.tripod.com/madani.htm

0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.