Oleh: DR. Amir Faishol Fath

Kirim Print
dakwatuna.com - Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran:165)

Ayat ini menggambarkan kondisi umat Islam pada saat mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Mereka kehilangan tujuh puluh syuhada, ditambah lagi dengan sejumlah korban luka-luka. Padahal mereka berjuang di jalan Allah. Sementara musuh mereka orang-orang kafir berjuang di jalan setan. Sebelumnya, pada saat perang Badar, mereka menang, dan bisa menggugurkan tujuh puluh orang, serta bisa menangkap tujuh puluh tawanan dari pasukan kafir. Mengapa kekalahan itu terjadi di Uhud, padahal jumlah mereka di Uhud lebih banyak dari pada di Badar? Ayat di atas menjawab pertanyaan ini.

Kerapian Sistem “Sunnatullah”

Allah swt. berfirman, “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada perang Badar) kamu berkata: dari mana kekalahan ini?” Maksudnya: Mengapa kamu mempertanyakan kekalahanmu? Apakah kamu mengira bahwa kamu tidak akan pernah kalah sekalipun kamu lalai akan tugas-tugasmu? Apakah kamu tetap yakin bahwa Allah akan menolongmu, sementara kamu tidak komitmen dengan sunnatullah? Tidak, tidak demikian pemahaman yang harus kamu jalani dalam berjuang di jalan Allah.

Allah swt. telah meletakkan sistem-Nya (baca: sunnatullah) di alam ini dengan sangat rapi. Siapa yang mengikuti sistem ini dengan baik, ia akan berhasil, dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal. Tidak ada langkah dan perbuatan kecuali harus seirama dengan sistem yang sudah ada. Termasuk dalam menjalankan tugas dakwah komitmen ini juga harus selalu dipertahankan, jangan sampai ada langkah apapun yang kemudian menyebabkan hancurnya semua usaha yang telah dibangun. Seorang aktivis dakwah harus selalu menyadari makna ini, karena tidak mustahil sebuah kesalahan kecil yang dianggap remeh, lama kelamaan akan menjadi besar.

Ayat di atas setidaknya telah memberikan pelajaran, bahwa para aktivis dakwah harus selalu mempertahankan kualitas amal: amal secara fardiyah maupun amal secara jamaiyah. Menurunnya kualitas amal fardiyah tidak mustahil akan berdampak pada kualitas amal jamaiyah. Dan menurunnya kualitas amal jamaiyah sudah barang tentu akan berdampak kepada masyarakat umum secara lebih luas. Dampak tersebut bila sudah terjadi, ia akan menimpa siapa pun, tidak pandang bulu. Ayat di atas adalah gambaran kekalahan yang menimpa masyarakat Sahabat di dalamnya ada Rasulullah saw. Perhatikan, siapa yang akan mengira bahwa masyarakat sekualitas sahabat dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. akan mengalami kekalahan? Tetapi ternyata itu terjadi, hanya karena kelengahan segelintir dari mereka. Lengah karena terpedaya oleh harta rampasan yang berserakan. Suatu tindakan yang kemudian membuat mereka lalai akan tugas yang harus mereka perjuangkan.

Seringkali terjadi memang, ketika kemenangan dicapai, orang tertipu dengan keberhasilan. Seakan perjalanan sudah selesai. Sehingga ia tidak hati-hati lagi seperti kehati-hatiannya dulu sebelum kemenangan dicapai. Lebih-lebih ketika harta melimpah seperti yang ditemukan pasukan kaum muslimin di Uhud, mereka seketika tertipu dengan secuil harta yang sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding dengan kenikmatan di surga. Ketertipuan itu membuat mereka lupa kepada pesan pertama Rasulullah saw, agar tetap bertahan pada posisinya sampai ada perintah lebih lanjut. Itulah yang kemudian terjadi, mereka kemudian kalah, buah dari kelalaian yang mereka perbuat. Karenanya Allah menegaskan: qul huwa min indi anfusikum (Katakanlah, “Itu (kesalahan) dirimu sendiri”).

Kesalahan Diri Sendiri

Firman Allah: qul huwa min indi anfusikum, menegaskan makna yang sangat dalam mengenai beberapa hal: Pertama, bahwa Allah swt. tidak pernah berbuat zhalim. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri”. (Yunus:44) Di ayat lain Allah menceritakan bahwa umat terdahulu pernah diadzab karena perbuatan mereka sendiri, “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”(Al Ankabuut:40). Maka setiap bencana dan malapetaka yang manusia alami asal muasalnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zhalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zhalim kepada diri sendiri (Ar-Rum:9).

Kedua, bahwa setiap musibah yang menimpa manusia, itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Di sini nampak bahwa kualitas pekerjaan apapun sangat ditentukan oleh manusianya. Lebih-lebih bila pekerjaan tersebut tergolong amal dakwah, maka sungguh sangat menuntut keistiqamahan pelakunya dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah. Semakin sungguh-sungguh seorang aktivis dakwah dalam menjalani hakikat kehambaan-Nya kepada Allah, maka juga akan semakin produktif dakwah yang dijalaninya. Sebaliknya bila seorang aktivis mulai tertipu dengan gemerlap dunia seperti tertipunya pasukan Uhud pada saat menemukan tanda-tanda kemenangan, maka di situlah titik runtuhnya amal dakwah itu akan bermula. Inilah pengertian dari firman-Nya: qul huwa min indi anfusikum. Maksudnya: kegagalan itu dari dirimu sendiri, dirimu yang tertipu dengan gemerlap dunia, sehingga kemudian amal dakwah kau kesampingkan. Maka bila dakwah yang kau lakukan tidak memberikan keberkahan, melainkan malah menyeret fitnah dan kemunkaran itu asal-muasalnya adalah perbuatan pelakunya. Boleh jadi seseorang yang tadinya tulus berdakwah, tetapi kemudian setelah dunia mulai melimpah, ia berubah haluan, dunia malah menjadi tujuan. Orang yang seperti ini akan mendapatkan akibat dari perbuatannya sendiri, di mana akibat tersebut bisa jadi akan menimpa semua orang tak terkecuali, seperti kekalahan yang telah menimpa para sahabat dan Rasulullah di medan Uhud.

Ketiga, bahwa perjuangan seorang aktivis dakwah untuk tetap istiqamah dalam menjalani kewajibannya, adalah bagian dari sunnatullah yang harus selalu dipertahankan. Sedikit lengah dan tertipu oleh kepentingan sesaat, ia akan terjerembab ke dalam kegagalan. Dakwah yang diucapkan akan menjadi sekadar jargon tanpa jiwa. Akibatnya Allah swt. tidak akan menurunkan bantuan-Nya. Bila Allah menolak untuk membantunya, maka itu suatu tanda hilangnya keberkahan dalam kerja dakwah tersebut. Bila keberkahannya hilang, jangan di harap amal dakwah yang ditawarkan akan menjadi bermanfaat, melainkan malah akan menjadi ancaman bagi pelakunya. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (Ash-Shaf:2)

Perhatikan betapa kerja dakwah sangat menuntut masing-masing aktivisnya untuk senantiasa mempertahankan dan meningkatkan kualitas kepribadiannya: baik sebagai hamba Allah yang tercermin dalam kekhusu’an ibadahnya, maupun sebagai aktivis yang selalu menjadikan dakwah sebagai medan utama perjuangannya. Dari sini jelas, bahwa perjuangan di jalan dakwah menuntut ketabahan pelakunya dalam menjaga secara terus-menerus kualitas dirinya, kualitas ketaatannya kepada Allah dan kualitas amal dakwahnya. Kualitas yang benar-benar mencerminkan makna kesungguhan, keseriusan dan pengorbanan secara jujur (baca: itqaan) dalam menjalankan tugas-tugas dakwah yang dipikulnya. Inilah yang kita kenal dengan istilah: al muhafadzah alaa jaudatil junuud (memelihara kualitas aktivis dakwah).

Keharusan Memelihara Dan Meningkatkan Kualitas Diri

Pengertian lebih lanjut dari makna ayat: qul huwa min indi anfusikum adalah bahwa kualitas diri merupakan faktor penentu dari berhasil tidaknya sebuah usaha apapun, lebih-lebih amal dakwah. Terutama ketika amal dakwah tersebut sudah berjalan, dan mulai merambah tanda-tanda keberhasilan. Di sini upaya pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri sangatlah diperlukan. Sebab tanpa pemeliharaan dan peningkatan amal dakwah pasti akan mengalami penurunan. Bahkan tidak mustahil timbulnya gesekan-gesekan internal akan selalu terjadi. Dari gesekan-gesekan ini kemudian muncul gelembung perpecahan yang pada gilirannya menghanyutkan hasil usaha yang sudah dibangun sekian lama. Perhatikan peristiwa perang Uhud yang tadinya umat Islam sudah mendekati kemenangan, namun akhirnya malah berbalik menjadi kekalahan, di mana sebab utamanya adalah: qul huwa min indi anfusikum. Artinya mereka tidak bisa memelihara kualitas diri yang membuat mereka menang, padahal mereka pernah mencapainya di perang Badar dan di permulaan perang Uhud. Anehnya kualitas diri tersebut malah mereka lepaskan, dan dari situlah kemudian mereka tidak memenuhi syarat untuk menang, karenanya mereka kalah.

Oleh sebab itu, pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri adalah merupakan keniscayaan untuk terus melanjutkan perjuangan dakwah. Sebab tidak mungkin sebuah perjalanan dakwah akan terus berlangsung dengan baik, apalagi meningkat, bila di tengah jalan para aktivisnya mengalami degradasi. Kerja dakwah adalah kerja yang tidak mungkin dipikul oleh segelintir orang, melainkan harus dipikul bersama-sama. Karenanya tidak mungkin dalam hal ini hanya mengandalkan kerja keras sebagian orang lalu yang lain tidak mengimbanginya. Dakwah menuntut keseimbangan secara utuh dalam segala dimensinya: dimensi spiritual, intelektual, material dan moral. Seorang aktivis dakwah adalah seorang selalu memelihara hakikat ini secara seimbang dalam dirinya dan dalam kebersamaannya dengan yang lain. Bila keseimbangan ini hilang, tentu akan terjadi ketimpangan. Dan dari ketimpangan ini kemudian muncul kegagalan. Kegagalan perang Uhud seperti yang ditegaskan dalam ayat di atas adalah contoh nyata yang sangat jelas. Sampai pun peperangan tersebut dipimpin langsung oleh Rasulullah saw, tetapi karena kesalahan sebagian dari mereka yang tidak sanggup memelihara kualitas diri, akhirnya mengakibatkan semuanya menjadi berantakan.

Penyakit seperti ini seringkali terjadi dalam perjalanan dakwah. Bila di awal langkahnya para aktivis selalu semangat, tetapi di tengah perjalanan semangat membara itu seringkali kehabisan nafas. Akibatnya dakwah menjadi korban. Karenanya Allah tutup ayat di atas dengan penegasan, “innallaaha ‘laa kulli sya’in qadiir” (sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu). Itu untuk menggambarkan ketegasan sunnatullah (baca: sebab akibat). Bahwa Allah Maha Kuasa menjalankan sunnah-Nya tersebut secara sempurna. Tidak bisa ditawar-tawar. Siapa yang sungguh-sungguh mengikuti sunnah tersebut akan berhasil. Dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal sekalipun ia beriman kepada-Nya.

Manusia diciptakan oleh Allah bukan untuk menandingi-Nya. Sehebat-hebat manusia, ia tidak akan pernah mampu menandingi kekuasaan-Nya. Allah tetap Maha Kuasa dan manusia tetap maha lemah di hadap-Nya. Maka ketika Allah membekali akal dan segala keilmuan kepada manusia itu semuanya tidak akan pernah mencapai level kekuasaan-Nya. Karenanya ia tidak bisa independen total dari Allah. Ia dengan segala pencapaiannya tetap harus tunduk kepada-Nya. Lebih dari itu ia juga harus tetap memelihara ketundukan ini secara maksimal sampai ia menghadap-Nya. Bila ini yang ia lakukan ia akan berhasil tidak saja secara personal, melainkan juga secara sosial dalam kebersamaannya dengan yang lain. Sebaliknya bila ia gagal memelihara dan meningkatkan tingkat ketundukan yang pernah ia capai, ia pasti akan gagal, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat. Wallahu a’lam bishshawab.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2007/pelajaran-dari-perang-uhud/



Share

0 komentar:

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Isi Blog

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.