LATAR BELAKANG GERAKAN PADRI
DAN MULANYA DAKWAH SALAF DI INDONESIA
Istilah Padri sebenarnya bukan berasal dari terminologi Minangkabau dan dalam literatur-literatur tradisional Minangkabau tidak ditemukan penggunaan istilah tersebut. Oleh karena itu, istilah padri tidak mendapatkan pengertian yang jelas bagi orang Minangkabau sendiri. Satu sumber menyatakan bahwa padri berasal dari bahasa Portugis yang berarti bapak yakni sebutan yang ditujukan kepada pendeta. Christine Dobbin, sebagaimana dikutip oleh Sjafnir (Nain, 1988:25), menyebutkan bahwa istilah padri berasal dari kata Pedir yakni nama sebuah pelabuhan (syahbandar) di pesisir utara Aceh tempat transitnya calon-calon jama'ah haji Indonesia sebelum berangkat ke Mekkah. Menurut Schrieke-- Padri adalah istilah yang dilekatkan kepada golongan ulama atau golongan agama pada awal-awal abad ke-19 di Minangkabau (Schiereke,1973:12). Dalam literatur tradisional Minangkabau hanya terdapat istilah kaum putih dan kaum hitam. Istilah kaum putih adalah sebutan yang digunakan untuk kaum agama, sedangkan kaum hitam digunakan untuk menyebut kaum adat. Istilah Padri dalam tulisan ini mengikut kepada pendapat Schrieke.
Munculnya Gerakan Padri di Minangkabau sering dikaitkan dengan Gerakan Pembaharuan Islam yang terjadi di tanah Hejaz yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin AbdulWahab pada pertengahan abad ke 18. Dalam sejarah, gerakan ini dikenal sebagai Gerakan Pemurnian Islam dari segala noda-noda yang merusaknya yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Motivasi gerakan ini pada awalnya adalah karena terjadinya kemunduran cara berfikir masyarakat Islam, terutama di Mekkah, krisis aqidah dan akhlak serta menurunnya tata nilai ekonomi, politik, sosial dan budaya yang dianggap sudah melampaui batas. Dalam bidang aqidah masyarakat Mekkah telah banyak yang terbuai oleh paham kesufian. Sudah banyak masyarakat yang menjauhi masjid dan berbondong-bondong mendatangi makam-makam yang dikeramatkan untuk meminta pertolongan, berkah dan ampunan dosa. Kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya orang yang gemar minum minuman keras dan menjamurnya praktek-praktek prostitusi. Semua itu merupakan akibat dari penetrasi budaya bangsa penjajah, terutama Turki yang berterusan di Jazirah Arab.
Tujuan utama Dakwah Syaikh ini adalah Kembali kepada Tauhid dan mengikis habis perbuatan-perbuatan bid'ah dan menanamkan kepada masyarakat suatu keyakinan kepada Al Qur'an dan Hadis sebagai satu-satunya pegangan hidup. Oleh karena itu mereka menentang keras praktek sufisme yang menjadikan guru-guru mereka sebagai perantara dalam bermunajat kepada Allah (tawassul).
Kejadian-kejadian di Tanah Hejaz itu sangat berkesan di hati tiga orang haji Minangkabau yang kembali ke kampung halaman pada tahun 1803 yakni Haji Piobang dari Lima Puluh Koto, Haji Sumanik dari Tanah Datar, dan Haji Miskin dari Agam. Selama berada di Mekkah ketiga orang haji putra asli Minangkabau yang kemudian dikenal sebagai pelopor Gerakan Padri ini menyaksikan langsung dikuasainya Kota Suci Mekkah oleh Pengikut Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab atau setidak-tidaknya mereka memahami atau banyak dipengaruhi oleh Dakwah ini mengingat ajaran tersebut telah secara luas dibicarakan dikalangan umat Islam di Mekkah ketika itu. Sebagai penguasa Kota Mekkah, tentu saja Pengikut Dakwah Syaikh ini tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mensosialisasikan dakwah salaf ini kepada para jama'ah haji di Mekkah tidak kecuali yang berasal dari Minangkabau. Berangkat dari fenomena inilah, banyak penulis-penulis sejarah Minangkabau yang menyebutkan adanya pengaruh Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam Gerakan Padri.
Setibanya di kampung halaman ketiga orang haji itu mendapati masyarakat Minangkabau tengah dilanda krisis moral dan menjamurnya patologi sosial seperti berjudi, mabuk-mabukan, menyabung ayam, madat, perzinahan, pembunuhan, tawuran massal, parampokan dan sebagainya. Pemuka-permuka adat yang seharusnya dapat menjadi tauladan justru ikut menciptakan krisis moral. Hal ini terillustrasi dari adanya budaya-budaya yang mencerminkan tabiat-tabiat buruk masyarakat pada setiap kesempatan pesta-pesta adat. Bahkan kebiasaan buruk itu dilakukan pula pada bulan suci Ramadhan. Sementara itu pada hari-hari pasar para pedagang dan masyarakat lainnya beramai-ramai menghambur-hamburkan uang di meja judi dan sabung ayam. Mengisap candu dan minum-minuman keras ikut meramaikan kehidupan pasar Kebiasaan-kebiasaan inilah yang seringkali menjadi pemicu timbulnya berbagai penyakit masyarakat seperti perkelahian, perampokan, dan pembunuhan.
Sementara itu elit agama tidak memiliki pengaruh yang kuat untuk memberantas penyakit-penyakit masyarakat lantaran kekuasaan tertinggi berada di tangan elit-elit adat. Akan tetapi hal ini bukan berarti para ulama diam saja. Mereka juga ikut prihatin dengan kondisi tersebut. Dalam setiap khotbahnya para ulama selalu melontarkan fatwa-fatwanya yang mengajak masyarakat menjauhi kehidupan yang menyesatkan. Ajakan itu hanya diikuti oleh segelintir orang saja, itupun dalam kalangan terbatas terutama "orang-orang surau" dan sebagian kecil dari elit-elit adat (Rajab,1955:6).
Abdullah
0 komentar:
Posting Komentar