REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Segala sesuatu membutuhkan proses, termasuk ketika seorang manusia menemukan fitrahnya sebagai muslim. Proses panjang penuh liku membawa sosok Liem Hai Thai mengenal Islam.
Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Liem dibesarkan dalam keluarga Budha yang taat. Setiap menjelang magrib, dia bersama keluarganya secara rutin menyembah Pay Pekkong, arwah leluhur dari orang ternama. Ayahnya adalah seorang aktivis Klenteng.
Liem lahir di Dumai, Riau, 17 Januari 1979 dari pasangan bernama Liem Guanho dan Laihua. Liem merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Perkenalannya dengan islam terjadi ketika dirinya menginjak kelas dua di sekolah dasar negeri.
Ketika anak-anak non muslim seperti dirinya keluar kelas saat pelajaran agama Islam berlangsung, ia memilih tidak keluar kelas. Liem justru betah mendengarkan kisah Nabi-nabi yang diceritakan oleh guru agama Oslam di sekolahnya.
Ketertarikannya terhadap Islam pun tumbuh. Lime kecil selalu hadir dalam perayaan hari besar Islam di sekolah. Meski demikian, Liem tetap menjalankan kewajibannya untuk menyembah Pey Pekkong bersama keluarganya.
Perasaan berkecamuk dalam diri Liem kian tumbuh ketika dirinya mendengar suara adzan setiap hari. Perasaan itu kian menjadi ketika mendengar takbir menjelang Idul Fitri. Bahkan, ia mengaku takbir yang ia dengar sewaktu kecil begitu merasuk dalam sanubarinya hingga menghadirkan setetes air mata.
Menginjak SMP, Liem yang diterima masuk SMP Syeikh Umar, Dumai Riau,tetap melanjutkan pergaulannya dengan Islam melalui kebiasaanya mengikuti pelajaran agama Islam. Liem yang beranjak dewasa, begitu kagum dengan kisah keimanan Nabi Ibrahim AS.
Kegundahan hati yang kian besar, membuat dirinya bertanya pada sang kakak, Liem Hai Seng. Kakak Liem yang juga muallaf dan mengganti namanya menjadi Muhammad Abdul Nashir ini menyarankan kepada sang adik untuk mengikuti kata hatinya.
Liem mengaku mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam pada usia 15 tahun atau tepatnya 21 Juli 1994. Liem yang haus akan agama barunya tak ragu untuk mendalami. Ia kemudian memutuskan ikut seorang guru yang nantinya menyarankan Liem untuk berdakwah.
"Setelah masuk islam, saya harus menerima kenyataan pahit, saya terusir dari orang-orang yang saya sayangi. Saya mencoba pulang, namun diusir, begitu seterusnya. Tapi tidak pernah terbersit rasa benci terhadap keluarga saya," ungkap Liem ketika ditemui dalam sebuah acara di Jakarta kamis lalu.
Setelah diusir, dia diasuh oleh seorang ulama Riau bernama KH. Ali Muchsin. Pengasuh Pondok Pesantren Jabal Nur di Kandis, Riau itulah yang mendorong tekadnya untuk menjadi da’i. Usai lulus SMP, Liem yang berganti nama menjadi Muhammad Utsman Ansori melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Daar El Qolam, Balaraja, Banten pada 1995 hingga 1999. "Saya ingin mengenal Islam dengan menjadi penghafal Quran, Alhamdulillah, di tahun kedua saya memeluk Islam, saya sudah hafal Quran," Ungkapnya.
Selesai belajar dari Pondok Pesantren Daar El Qolam, Balaraja Banten, dia kembali melanjutkan di Pondok Pesantren Tahfizul Qur’an Raudhatul Muhsinin, Malang Jawa Timur. Pada tahun 2001, Liem melanjutkan studinya ke Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Lebak bulus Ciputat hingga lulus 2005. Ia kembali melanjutkan studinya mengambil gelar master pada 2005-2008 di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) dengan mengambil Jurusan Konsentrasi Ilmu Tafsir.
Pada tahun 2001, Koko Liem dianugerahi jodoh dan menikah dengan Ima Ismawati, S.Thi (alumni Institut Ilmu Al-Qur’an Jakarta, Jurusan Tafsir Hadits). Dari pernikahannya tersebut, Lim kini dikaruniai dua orang putri yang diberi nama Isyah Mardhiyyah Ustman (Tasya Liem) & Syahda Al Ghina Utsman (Syahda Liem).
Giat Berdakwah
Sesuai dengan latar ilmu yang didalaminya, Liem yang sedari awal memutuskan menjadi pendakwah mulai belajar berdakwah di bangku kuliah. Setelah itu, Liem memutuskan untuk mengikuti ajang kompetisi Da'i di salah satu stasiun Televisi Swasta di tanah air.
Meskipun berhasil menjadi finalis, Koko Liem gagal menembus lima besar ajang tersebut. Sejak saat itu, kesempatan dakwahnya justru makin besar karena sudah banyak orang mengenalnya. Banyak pihak yang memanggilnya untuk mengisi ceramah di pengajian-pengajian. Liem pun sering mengisi ceramat diberbagai acara di televisi dan radio.
Liem mempunyai gaya yang khas ketika berdakwah. Dengan berbalut baju tradisional china, Liem tak malu menonjolkan identitasnya sebagai keturunan etnis Tionghoa. Bahkan disetiap dakwahnya, ia selalu menyisipkan Bahasa Mandarin.
Lewat mimiknya yang jenaka, Liem selalu melontarkan banyolan yang membuat jamaahnya begitu antusias mendengarnya. "Saya ini orang Tionghoa bu dengan ciri khas mata yang sipit. Jadi, kalau ibu mengatakan mata saya belo, berarti itu fitnah bu," candanya kepada jamaahnya.
Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Rep: Agung Sasongko
0 komentar:
Posting Komentar